A Tale of Rice-Syifa Amalia (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Halo semua, bertemu lagi di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya, kita sudah membagikan salah satu karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini, kita akan membagikan karya dari peserta lain yang tentunya tidak kalah menarik. Nah, berikut ini merupakan karya dari Syifa Amalia kelas XII IPA 3. Jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya menarik untuk diikuti.
—∑βγ—
A Tale of Rice
"Halo! Bolehkah kutahu nama kakak siapa?" Tanya seorang bocah
lelaki dekil dengan ceria. Kausnya kumal luar biasa. Wajah tambunnya berhias
cemong legam. Tak mengenakan alas kaki
pula. Duhai, siapa anak ini, lusuh sekali,
batinku sembari mengurut pelipis yang tadi terantuk batu, dan dimana
aku? Sejauh mata memandang hanya
tampak hamparan hijau rumput-rumputan. Sesekali kelelawar melintas dan mencabik
ranumnya buah nun jauh di perbukitan. Hai,
sejak kapan kelelawar menjadi diurnal? Aku beralih melihat anak itu lagi. Ia masih menatap
dengan penuh ingin tahu. Tangannya terulur, mencoba menarikku bangun. Tersirat
ketulusan di wajahnya. Ragu-ragu, kuterima genggaman hangatnya.
Di atas kami, langit menari bersukaria. Geliat dansa sang mentari
membuat cahayanya tumpah ruah ke berbagai penjuru, termasuk pula Desa
Bendungan, sisi barat Subang, dan lima dusun di dalamnya itu. Ketuk sepatu awan
yang riang menumpahkan guyuran hawa panas yang menyengat. Seperti dihunjam aliran
listrik, tiba-tiba aku merasa tersengat. Aliran elektron seperti bergerombol merasuk dalam saraf, bersambung antarsinapsis, menimbulkan lecutan-lecutan memori
yang sejak tadi kabur. Satu-satunya keping ingatan yang muncul di kepala kucir
kudaku hanya frasa nasi putih dan
sepotong nama–Ayu. Sisanya: zonk. Gelap,
tak ingat sama sekali.
“Ayu.. Engkau?”
Bocah itu lantas tersenyum lebar,
menampakkan gigi serinya yang tanggal satu. "Aku Zaroy, pemandu wisata
selama beberapa jam ke depan.” Pemandu
wisata? Mataku menyipit. Anak itu lebih mirip kaum duafa dibanding seorang tour guide. Ayo ke saung, kak. Matahari mulai terik," Ditariknya lenganku ke
sebuah gubuk reyot di tengah rimbun tanaman padi. Semakin tidak percaya aku
dengan ucapannya barusan.
"Kutebak, Kak Ayu pasti ingin
mengenal kegiatan bertani?" Senyumnya kembali merekah. Eh, bagaimana bisa dia tahu, batinku
heran. Meskipun ingatanku hilang, satu hal yang tidak mungkin dilupakan adalah
minatku dengan tanaman padi.
"Tidak perlu heran," Matanya
mengerling jenaka, "Ini adalah Kampung Agrium. Semua orang yang tersesat
di kampung ini, berarti ingin mengenal tanaman lebih dalam. Yang penting,
sepulang dari sini, Kak Ayu jadi enggan membuang-buang nasi." Ah! Aku terpana, teringat sebuah
kebiasaan buruk. Sarapanku sering tidak
habis. Samar-samar terbayang wajah lembut keibuan, dan seraut muka yang
membentakku. Sayangnya, semakin diingat membuat kepalaku semakin pusing. Aku memilih
mengabaikannya. Sambil tertawa, Zaroy kemudian menuntunku ke pematang sawah
terdekat.
"Moyangku campuran suku sunda dan
jawa. Kami hidup berdampingan dengan alam." Ia memandang langit sejenak, "Kakek
berkata ini musim yang baik untuk menanam padi," Tubuhnya lalu mengarah ke
hektar-hektar sawah yang menghijau. Seketika petak-petak sawah berubah menjadi
lahan yang terisi tanah gembur. Sulap apa
ini? Apa aku berada di negeri disney? Tapi, tak pernah kulihat Cinderella
membawa parang hendak berladang. Mengabaikan rasa takjubku, dengan lincah tangan cilik Zaroy
menjentik di tengah udara kosong. Ctak!
Baju bernoda telah berganti menjadi
t-shirt kekinian dan topi antik mahal. Badannya berangsur menjadi pemuda
tanggung nan gagah. Pipiku bersemu kemerahan. "Nah," Zaroy tersenyum
menawan, "Aku tidak perlu memanggilmu kakak lagi,"
Gayanya kemudian bak ahli agroteknologi kawakan
yang telah melanglang buana serta menghadiri forum internasional berkali-kali.
"Mari kuceritakan secara singkat proses pembentukan nasi yang mengagumkan.
Dengarkan aku baik-baik. Awalnya simple
saja, lahan ini digenangi air, kemudian dibajak oleh sapi atau kerbau."
Tepat setelah kata terakhir, sekumpulan binatang pemamah biak itu berlari ke
arah mereka, melenguh keras. Tanah di bawah sedikit bergoyang, Zaroy menarik tangan
kurusku ke tempat yang lebih lapang. "Lebih efisien menggunakan robot sapi
sih,"
"Robot sapi?" Kernyitku tak
mengerti. Pikiranku sudah membayangkan Bumblebee
dan kawan-kawannya. "Iya, traktor maksudnya, hehe," Zaroy menggaruk
kepalanya sekilas. "Pembajakan oleh sapi dilakukan sehari. Langkah ini
dilakukan sebanyak dua kali agar tanahnya mudah ditanami dan tidak
tandus," Jelasnya. "Selanjutnya, pawinian,
atau menyemai benih padi. Sebagian sawah diratakan tanahnya, dibentuk kotak
atau persegi panjang, lalu bibit ditebar sampai merata," Zaroy memegang
tanganku dan memberiku segenggam benih padi yang kecokelatan, “Tabur ke sana,
Yu.” Seperti mahasiswa yang patuh dengan dosen pembimbingnya–usiaku sepantaran anak smp, ok?–aku
menabur benih itu dengan cekatan.
“Proses ini berlangsung sampai dua puluh
lima hari atau sebulan. Yah, berhubung karena menunggu itu berat dan
membosankan, kita percepat saja," Mudah saja bagi Zaroy. Visual di depan
menampilkan slow motion pertumbuhan
padi yang meninggi sekitar enam puluh sentimeter. Lilir, katanya, adalah keadaan dimana padi mulai terlihat pucuknya
pada hari ketiga. "Ketika padi sudah nganak
lebat, proses selanjutnya adalah babut.
Padi yang berumur satu bulan dicabut, diikat, lalu dipindahkan dan ditanam di
sawah. Istilah populernya tandur.
Menanam padi dengan jalan mundur. Ada juga yang tanju, dengan jalan maju. Lebih cepet pake mesin transplanter," Aku
mengangguk-angguk. Dalam sekejap, mesin itu muncul di tengah sawah.
Penampakannya seperti mobil mini, dengan rak di atas dan dua gagang setir di
belakang. "Kelemahannya, warga yang tidak punya lahan, nggak bisa ikut ceceblok, atau menanam padi. Ini
berkaitan dengan tradisi derep,"
Dahiku berkerut. Derep? "Oke, kujelaskan sedikit. Misal sawah ini milikku, kamu
bisa dapat seperenam dari hasil panen, dengan ikut tandur hingga proses akhir, yaitu distribusi beras." O, gumamku mengerti. "Masih lama
ya?" Tanyaku kekanakan. "Iya. Nggak se-instan mie yang sering kamu makan, Tuan Putri," Zaroy memberi penekanan khusus pada kata ‘tuan
putri’. Merasa disindir, mulutku mengatup tanpa bisa dicegah. Namun, reaksinya
tidak terduga. Ia mencubit hidungku pelan. Kemudian mengusap kepalaku dan terbahak
layaknya seorang abang.
"Habis ini kita tinggal menunggu.
Dilihat, ada hama nggak. Biasanya di sela-sela padi, ada tumbuhan liar macam
ini," Pemuda tampan itu mencabut ilalang dengan kuat. "Adanya rumput
liar dapat mengganggu padi, menyebabkan tidak subur. Yang kulakukan tadi
disebut ngarambet. Well, mumnya dilakukan oleh perempuan.
Bisa juga dengan alat yang bernama gugurul,"
Alatnya panjang dengan ujung persegi panjang, terbuat dari kayu, terletak di
sebelah Ayu persis. "Kalau terlihat ada bunganya," Zaroy menunjuk
helai-helai benang sari yang mencuat, "namanya reuneuh leutik. Kalau terlihat ada buahnya, namanya reuneuh beukah. Kalau buahnya lebat,
disebut gumendel," Aku menguap
letih. Penjelasan istilah baru membuatku terkantuk “–Dan kalau sifatnya manja, itulah
Ayu.” Zaroy sukses membuatku tertawa.
“Ketika masuk seratus hari, padi yang
menguning siap dipanen. Kakek biasanya mencari orang untuk ngarit, atau mengambil padi dengan arit. Zaman dulu pake alat etem atau ani-ani, tapi itu lama. Selanjutnya
padi yang selesai dipotong, dikumpulkan, dan dirontokkan dari batangnya.
Prosesnya disebut ngegebot," Aku
menyimak Zaroy dengan takzim, "Setelah itu, dimasukkan ke dalam karung dan
ditakar. Oh iya, orang yang bekerja mengangkat karung padi disebut ngunjal, lalu yang mencari sisa-sisa
padi di sawah disebut ngeprikan.
"Untuk membersihkan padi dari
sekam/gabah, digunakan nyiru atau
tampah," Bundaran besar dari anyaman bilah rotan muncul di tangan kiri
Zaroy. "Bulir padi lalu ditampi," Zaroy menggoyangkan tampahnya ke
atas dan ke bawah serupa tenaga profesional. "Setelah bersih, padi dijemur
hingga kering agar saat ditumpuk selama berhari-hari tidak busuk. Biar jadi
beras, secara konvensional padi ditumbuk menggunakan jubleg, lesung, lumpang, dan sebagainya. Modern-nya, tinggal dibawa
ke pabrik gilingan padi. Selesai deh!" Wow,
rasa penasaranku telah terobati. “Panjang ya.." Celetukku. "Tentu
saja. Biji padi siap jadi beras setelah seratus tiga puluh dua hari–waktu yang
tidak singkat–dikemas, dan diedarkan ke seluruh daerah. Akhirnya berakhir di
piring kamu."
"Maaf, Roy." Aku mendadak merasa
bersalah. Proses menjadi nasi sangatlah panjang. Berapa butir nasi yang telah kubuang? Berapa banyaknya peluh petani
yang terbuang sia-sia akibat ulahku? Bodoh, bisik suara yang terasa tak
asing. "Tidak mengapa. Berjanjilah padaku kamu tidak akan begitu lagi,” Zaroy
menepuk bahuku pelan. “ Aku juga minta maaf tadi sempat mengantuk,”
“Perjalanan yang kamu lalui mungkin
membuatmu lelah.” Pemuda itu tersenyum lembut, “Sebenarnya aku menjelaskan
beserta bahasa daerahnya agar kamu paham, bahwa budaya kita begitu kaya.”
“Batang padi ini, kamu tahu bahasa jawanya
apa?” Ujar Zaroy menguji, “ Jangan bilang tidak tahu. Kan lucu ngaku orang jawa
tapi nggak ngerti bahasa ibunya sendiri."
“Damen?”
Untung aku bisa menjawab, bisikku
lega. Aku tidak ingin membuat Zaroy tambah bersedih. Entah mengapa istilah itu
muncul begitu saja di kepalaku. “Tepat. Istilah seperti kawul, merang, kapak, menir, katul, las, leri, tajin, intib, karak, semuanya
berhubungan dengan nasi. Tidak seperti bahasa inggris misalnya, yang menyebut
padi, beras, dan nasi dengan satu kata: rice.”
Jenius, pikirku menatap Zaroy dengan
kagum. Selintas pertanyaan tiba-tiba mengitari benakku. “Zaroy.. Apakah kalau
kita tidak menghabiskan nasi, binatang ternak tetangga akan mati?” Cetusku
polos. “Tidak, Ayu.” Zaroy tertawa, “Itu hanya sebuah mitos agar kita
menghargai jerih payah petani,” Ia lalu memberiku sebuah kotak besek bambu yang terasa hangat, “Sebagai
kenang-kenangan telah berkunjung ke sini, kuhadiahkan makanan favorit di
seluruh dunia!” Di benakku terbayang berbagai macam makanan lezat, dan ketika
dibuka... Aku tergelak melihat lima bungkusan panjang daun pisang.
"Lontong??" Zaroy mengangguk-angguk antusias, "Iya! Lontong bisa
dimakan sebagai pengganti nasi. Selain gurih, di dalamnya juga terkandung makna
mendalam. Ala e dadi kotong,
kejelekannya menghilang. Segala keburukan bisa dilabur dengan perbuatan
baik," Ujarnya berbinar, sudah macam filsuf yunani yang berjenggot tebal
itu. Mungkin Plato akan bangga mengetahui
lontong ada filosofinya. "Jangan salah, Ayu. Kebudayaan jawa sarat
akan filosofi. Ini membuat setiap hal yang sederhana akan terasa begitu
berharga. Diharapkan kita lebih bijaksana dalam menyikapi sesuatu, meski itu
tampak bernilai kecil,"
Tiba-tiba, hening lama. Aku tahu
perjalanan ini telah usai. Zaroy lalu memelukku begitu erat. Sayup-sayup
terdengar suara makian, yang membuatku tersadar.
"Nasinya dihabiskan, Sayang,"
desah seorang wanita muda khawatir. Di depannya persis, bocah berkucir kuda tak
sedikitpun bergeming. Gadis berumur empat belas tahun itu asyik memencet-mencet
nasi. Seolah sedang berada di dunia lain. Wanita uzur di belakangnya berkata
ketus, "Gemblung! Ternak
tetangga kita bisa mati karena ulahmu."
"Bu! Ayu 'sakit'. Berapa kali aku
harus bilang?" Lelehan bening menetes dari mata wanita muda itu untuk
kesekian kalinya. Dari sengguk tipis berubah menjadi guncang hebat. Si nenek
mendengus tak peduli, "Itu akibat kamu tidak pernah mendengarkan pamali.
Dasar bocah ora waras!" Ternak tetangga kita bisa mati karena
ulahmu. Dasar bocah ora waras!
"Zaa..za..zaoy!" Tiba-tiba gadis
itu merengek seraya melahap nasi dengan cepat hingga belepotan. Liur keluar
deras membasahi kerah bajunya, sementara tangannya menggapai-gapai wajah sang
ibunda. Berharap ia mampu merengkuh malaikatnya yang sedang tersedu itu ke
dunia Zaroy, pemandu misterius di kedalaman barat Subang.
1. kawul–gabah
yang masih kotor, bercampur dengan kapak.
2. kapak–gabah
yang kopong.
3. merang–kulit
gabah.
4. menir–gabah
yang digiling, tetapi hasilnya gagal menjadi beras atau terlalu halus.
5. katul–merang
yang digiling, biasanya untuk makanan unggas.
6. las–beras
yang bercampur dengan gabah.
7. leri–air
cucian beras.
8. tajin–air
rebusan beras sebelum ditanak.
9. intip–nasi
gosong.
10. karak–nasi
aking atau basi.
Cerpen karya Syifa Amalia di atas sangat menarik, bukan? Setelah
membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom komentar, ya! Terima kasih sudah
berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di postingan selanjutnya, stay
tuned!
—Sibema
33
A Tale of Rice-Syifa Amalia (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Reviewed by G-MAGZ
on
Januari 18, 2019
Rating:
Tidak ada komentar