Aksara-Adhimas Daru (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Halo semua, bertemu lagi
di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya, kita sudah membagikan salah satu
karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini, kita akan membagikan karya dari
peserta lain yang tentunya tidak kalah menarik. Nah, berikut
ini merupakan karya dari Adhimas Daru Nugroho kelas XII IPA 6. Jangan lupa tinggalkan
komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog
kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya
menarik untuk diikuti.
—∑βγ—
AKSARA
“Tunggu .. hei,
berhenti.. tunggu” Aku berusaha mengejar seorang gadis yang menjatuhkan
selendangnya di jalan.
“Hei
.. tunggu ...“ setelah berlari cukup jauh akhirnya aku berhasil menggapai gadis
itu. Gadis itu hanya menoleh memandangku sejenak kemudian kembali berjalan.
Namaku
Aksa. Aku seorang pemuda berusia 18 tahun yang tinggal di sebuah desa tak jauh
dari Kota Magelang. Aku merasa hidupku sama seperti remaja pada umumnya.
Belajar, bermain, bersenang-senang, bolos sekolah, jatuh cinta dan mungkin
sesekali merokok, tapi ada hal yang membuatku berbeda dari kehidupan remaja
lainnya. Ya, Dia yang membuatku berbeda, Sara.
“Hei,
ini milikmu ?” Aku kembali memanggil dan menunjukan sebuah selendang yang Ia
temukan di jalan.
“Kamu pegang selendang ku ?” gadis
itu mengambil selendangnya.
“Oh ya, maaf tadi kamu jatuhin di
jalan”
“Siapa kamu ?”
“Aksa.”
Gadis itu pergi setelah mengambil
selendang dariku. Dia kembali berjalan seakan tak pernah bertemu siapapun.
“Hah.. sama-sama!” Aku berteriak
sambil melambaikan tangan.
Hari demi hari pun berlalu.
Belakangan ini aku tidak fokus akan apa-apa yang aku kerjakan. Pikiranku terus
melayang memikirkan siapa sebenarnya gadis itu. Gadis aneh yang tiba-tiba terus
kupikirkan.
"Bang, besok temenin adek nonton pementasan tari yuk,"
ajakan adikku membuyarkan lamunanku.
"Oh iya, nanti abang temenin,"
Hari
itu aku tidak tau, bahwa keikutsertaanku menemani adikku membawaku pada
pertemuan kedua dengannya, Si Gadis Aneh.
Pementasan tari yang
dimaksud adikku ini diselenggarakan rutin, biasanya sebulan sekali. Atau
sebulan beberapa kali jika memang ada acara yang harus dirayakan. Pementasan tari ini diselenggarakan di
lapangan tengah desa, lalu dibuat panggung. Pementasan kali ini diselenggarakan
malam hari, memperingati ulang tahun anak Pak Lurah.
Aku dan adikku sedikit
terlambat gara-gara aku ketiduran. Acaranya sudah dimulai dari tadi. Adikku
sudah menyusup ke kerumunan paling depan, menonton bersama temannya sekarang,
Aku ditinggal di belakang.
Aku cukup menikmati acara
itu, sampai akhirnya aku melihat sosok yang aku kenali. Tunggu. Itu kan si
gadis aneh. Dia sedang menari diatas panggung. Oh, jadi dia seorang penari.
Tapi aku melihat ada yang aneh disana. Kehadiran gadis itu di panggung seperti
tidak dianggap. Mungkin, dia memang penari latar, yang hanya melengkapi penari
utamanya. Wajar saja, karena disana aku melihat Sari, yang jago sekali menari.
Tentu Sari-lah yang menjadi penari utamanya.
Rasa penasaranku akan gadis
itu kembali mencuat ke permukaan. Ingin sekali aku mendatanginya selepas
pentas.
"Dik, nanti kamu nunggu
disini sebentar ya, abang ada urusan," ucapku pada adikku
"Yah, padahal aku dah
ngantuk ni Bang. Aku pulang sama temen aja ya?"
"Gak apa-apa pulang
duluan?" Tanyaku setengah khawatir
"Gak apa-apa, kan ada
temen," katanya sambil senyum, menenangkan.
"Yaudah,
hati-hati," kataku saat melihat adikku berjalan pulang, sama temannya.
Aku langsung pergi menuju ke
belakang panggung. Sesekali berpapasan dengan orang yang mengenalku, lalu
saling sapa. Mataku berkeliling, dimana si gadis aneh itu. Persis dugaanku, dia
berdiri jauh dari kerumunan. Aku langsung bergegas mendatanginya.
"Hai," sapaku.
Tidak kusangka, aku mendapat
reaksi yang tak terduga olehnya. Dia hanya menatapku lalu kembali sibuk dengan
peralatan tarinya. Ya Tuhan! Aku berani bersumpah, aku belum pernah
diperlakukan seperti ini oleh seorang gadis, mereka selalu memberikan reaksi,
dari yang paling heboh atau minimal hanya senyum. Lalu Dia! Tidak tersenyum
sama sekali. Sungguh malang.
"Hai,
aku Aksa, beberapa waktu lalu kita sempat bertemu, Aku menemukan selendangmu
yang jatuh," aku tidak menyerah, sungguh.
"Iya tau," dia
masih tidak menatapku
"Nama kamu siapa?"
Tanyaku
"Sara," singkat,
tapi tak apa
"Kamu penari ya?"
Tanyaku. Aku berani bersumpah, aku sudah seperti dora yang tidak berhenti
bertanya.
Diam. Tidak ada reaksi. Lalu
dia menatapku, aku senyum.
"Lebih baik, kamu pergi
dari sini. Semua orang disini sedang menatapmu," katanya lalu pergi.
Mendengar perkataannya, aku
langsung melihat ke sekeliling, benar saja, semua orang disini sedang menatapku
heran, tatapan yang mengisyaratkan "apakah orang itu gila?". Apa ada
yang salah? Saat aku hendak kembali, aku mendengar seseorang yang berkata
"dia tadi ngobrol sama siapa sih? Ngomong sendiri gitu ya. Jangan-jangan
dia gila"
Gila? Jelas-jelas aku sedang
berbicara dengan seorang gadis. Aku memutuskan pulang karena aku tiba-tiba
ditinggal pergi oleh gadis itu. Setidaknya aku sudah tau namanya, Sara, cantik
namanya, seperti yang punya. Saat setengah jalan, seseorang tiba-tiba
memanggilku. Aku menoleh. Sari? Dia tau namaku?
"Aksa,"
"Eh, iya?"
"Kamu tadi mengobrol
dengan adikku ya?"
"Maksudmu?"
"Iya, gadis yang tadi
kamu ajak ngobrol di belakang panggung,"
"Oh iya, jadi dia
adikmu? Wah, kakak adik sama2 jago menari,"
"Kamu bisa temui aku
besok? Di taman? Jam 9 pagi?" Tentu, aku terkejut. Ini sangat mendadak
menurutku untuk orang yang baru kenal. Tapi aku iyakan.
Aku tidak tahu alasan Sari
mengajakku bertemu di taman itu. Katanya ada yang mau dia bicarakan. Entahlah,
semoga baik. Keesokan harinya, jam 9 aku pergi ke taman. Disana sudah ada Sari
yang menunggu.
"Hai," sapaku
"Aksa, kamu sudah
datang. Duduk," dia mempersilahkan aku duduk di sebelahnya.
"Ada apa Sar?
Sepertinya penting,"
"Mmm, kamu sejak kapan
mengenal adikku?"
"Beberapa waktu lalu,
itupun tidak sengaja, aku mengambilkan selendangnya yang jatuh di jalan,"
"Selendang?"
"Iya,
tapi aku baru tau namanya kemarin, Sara, dan kamu Sari, bagus, cocok,"
kataku sambil ketawa, padahal tidak ada yang lucu sebenarnya.
"Oh, begitu. Kamu suka
sama Sara?" Eh? Mendadak sekali orang ini. Aku baru tau kalau Sari ini
ternyata tidak suka basa-basi, to the point, dan baam! Aku langsung tertembak
oleh pertanyaanya yang mendadak.
"Eh? Belum, mungkin
tertarik. Dia selalu membuatku penasaran, hehe"
"Kamu tau adikku sudah
meninggal?" Lagi-lagi, aku tertembak oleh pertanyaanya, yang ini, tidak masuk
akal, sama sekali.
"Dia meninggal 5 bulan
lalu, aku dan keluarga juga kaget, dia tidak sakit apa-apa, meninggal begitu
saja. Tuhan sayang sama dia. Gadis yang kemarin kamu ajak ngobrol itu arwah
Sara, kamu tau saat orang-orang mentapmu heran? Itu karena kamu bicara sendiri.
Sara juga pernah bercerita tentangmu, tapi maaf aku tidak tau kamu saat itu.
Namun, saat melihat kamu mengobrol dengannya, aku langsung tau kamu, Aksa. Kamu
boleh bilang ini tidak masuk akal, terserah. Sebelum meninggal, Sara berjanji
padaku akan menemaniku di 7 pementasan, sebelum itu dia tidak pernah mau menari
sepanggung denganku. Adikku masih akan menemaniku dalam satu pementasan lagi,
besok di desa sebrang. Itu kesempatan terakhir kamu bertemu dengannya. Sudah
siang, aku harus kembali ke sanggar untuk berlatih," terang Sari lalu
pergi. Meninggalkanku yang duduk masih tidak percaya dengan apa yang
diceritakan, tanpa sadar, air mata mengalir di pipiku.
Esoknya aku langsung datang
ke pementasan tari itu. Aku melihat Sara, kali ini gadis itu hanya berdiri
disamping panggung, menyaksikan kakaknya. Aku mengahmpirinya, tidak ada rasa
takut, padahal dia bukan manusia, dan aku tau itu.
"Kenapa?" Tanyaku
"Ha?" Dia bingung
sekaligus kaget
"Ini pentas terakhirmu,
kenapa tidak naik?"
"Jadi kamu sudah tau.
Aku takut, aku masih ingin disini," katanya sambil menatapku. Aku pias.
Sedih melihatnya. Mungkin aku sudah bukan tertarik lagi. Aku memberinya
semangat untuk pentas terakhirnya.
Aku memberikan sebuah kertas
berisi sebuah tulisan kepadanya. Tulisan itu kutulis dengan hurus aksara jawa.
Begitupun aku menuliskan sebuah kata betuliskan “AKSARA”
“Aksara ?” tanya Sara
kepadaku.
“Aksa dan Sara” kujawab
tersenyum sambil memegang tangannya.
Akhirnya dia mau naik ke pangung. Sari yang
melihatnya tersenyum kepadaku. Setelah selesai, Sara menghampiriku.
"Terimakasih,"
ujarnya sambil senyum, dan dia menangis
"Iya sama-sama,"
ucapku juga senyum. Ingin sekali menangis, tapi aku lebih memilih
mempertahankan harga diriku di depan Sara.
"Sara mau pergi,"
ucapnya "kamu baik-baik ya disini, jangan nakal," ucapnya lagi sambil
tertawa. Kali ini aku tidak bisa menahan air mata, akhirnya jatuh juga. Air
mata pertamaku yang jatuh, mengiringi kepergiannya saat itu. Hanya meninggalkan
seutas kertas yang jatuh di depan ku. Kulihat dengan tatapan penuh air mata.
“AKSARA”.
- SELESAI -
Cerpen karya Adhimas Daru di atas
sangat menarik, bukan? Setelah membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom
komentar, ya! Terima kasih sudah berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di
postingan selanjutnya, stay tuned!
—Sibema 33
Aksara-Adhimas Daru (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Reviewed by G-MAGZ
on
Januari 19, 2019
Rating:
Tidak ada komentar