Barong Penunggu Lemari-Angela Merrici (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)


Halo semua, bertemu lagi di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya, kita sudah membagikan salah satu karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini, kita akan membagikan karya dari peserta lain yang tentunya tidak kalah menarik. Nah, berikut ini merupakan karya dari Angela Merrici Basilika Rain kelas X IPS 4. Jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya menarik untuk diikuti. 

—∑βγ

Barong Penunggu Lemari

“AAAARRGGGHHHHHH….”

Jeritan perempuan di pagi hari membuat kaget Rosa, seorang gadis yang mengenakan seragam SMAnya. Hampir saja ia menyemburkan susu coklat yang sedang ia minum.

            “ MAYA KAMU NGAPAIN, SIH, PAGI – PAGI TERIAK – TERIAK? KAGET TAHU!!”  Rosa berkata tak kalah keras dengan teriakan Maya, adiknya.

            “ Rosa, adikmu sedang ketakutan. Cepat kemari!” Begitu mendengar suara Mamanya, ia segera bergegas menuju kamar adiknya, sumber suara jeritan tadi.

            Di kamar, Maya tampak menangis terisak – isak di pelukan Mamanya. Badannya kaku dan mengeluarkan keringat dingin. Pintu lemari tempat ia menyimpan pakaiannya tampak terbuka lebar. Rosa mengernyitkan dahinya, ‘’Apa yang telah terjadi?’’

            Seolah mengerti isi pikiran kakaknya, Maya mengangkat tangannya. Jarinya menunjuk ke arah lemari yang pintunya terbuka lebar itu.
            “ Kka.. Kak.. ak.. ku.. li.. lihat.. bb.. ba.. barong.. di.. le.. mar.. ri,” ujar Maya terbata. Tangan dan bibirnya gemetaran.
            “ Lagi? Oh, ayolah May. Ini sudah ketiga kalinya kamu lihat barong khalanmu di lemari. Tidak ada apa – apa, kok, di lemarimu itu..”
            “ Ta.. tapi.. Kak.. ini.. be.. bener.. an.. “

            “ Sudah, sudah. Maya, percaya Mama. Tidak ada yang perlu kamu takuti, di lemarimu tidak ada apa – apa. Lebih baik sekarang kalian berangkat saja daripada terlambat masuk sekolah,” ujar Mama seraya menutup pintu lemari. Tanpa perlu aba – aba lagi, Rosa keluar dari kamar Maya. Begitu pula dengan Maya, ia berjalan keluar kamar dengan perlahan karena masih syok dengan apa yang ia lihat tadi.

            “ Ma, Rosa berangkat dulu ya,” pamit Rosa kepada Mamanya, “ Mama tidak usah khawatir kita naik angkot kita bisa jaga diri kok. Buktinya hampir seminggu ini kita baik – baik saja. Iya kan, May? ” yang ditanya hanya diam saja.

Akhirnya, justru Mama yang menimpali, “ Iya, kalian yang sabar ya. Bentar lagi dinas Papa di luar kota hampir selesai. Jadi kalian bisa berangkat ke sekolah bareng Papa lagi.” Rosa mengangguk, kemudian menyalami dan mencium tangan Mamanya. Ia menoleh kearah adiknya yang sedari tadi hanya diam saja.

“ May, kamu gak mau pamit ke Mama?” Maya tersentak, kemudian buru – buru menyalami tangan Mamanya, yang disalaminya hanya tersenyum geli dengan tingkah putrinya.

Di angkot yang menuju ke sekolah mereka, Rosa tampak gusar melihat Maya yang sedari tadi hanya diam saja. Dia menepuk pundak adiknya dan berkata, “ Kamu kenapa, May, sedari tadi diam saja? Sakit? Pulang saja sana!”

“ Oh, enggak, aku cuma kepikiran kejadian tadi, Kak. Bisa – bisanya ada barong Bali di lemariku? Sudah ketiga kalinya aku lihat barong itu, lho!”

“ Hmm, mungkin barongnya suka sama kamu, May, jadi kayak cinta pada pandangan pertama pas lihat kamu kemarin di Bali. Makanya, ngikutin kamu sampai ke rumah, terus jadi nyaman, deh, di lemarimu. Hahahahahahaha..”

Maya diam, berusaha mengingat dan memikirkan kejadian – kejadian yang membuatnya dihantui barong Bali itu saat ia sedang melaksanakan Study Tour di Bali. Tak ia gubriskan kakaknya yang tertawa seraya mengejeknya.

Denpasar, Bali, 20 Februari 2018.
            “ May, lihat, tuh, ada Hanoman lagi nari sama Shinta. Lucu banget, lho! Hai, Maya, dilihat itu, stop main HPnya, donk!”

            “ Apa, sih, Ngel. Lagi asyik lihat MV boyband kesukaanku, nih. Nggak usah nganggu, deh!” Maya tampak kesal merasa terganggu dengan Angel, temannya, yang sedari tadi menyuruhnya melihat pertunjukan Tari Kecak.

            “ Astaga, Maya. Kamu, kan, bisa lihat Music Video boyband kesukaanmu itu kapan saja. Ini kita lagi Study Tour, kan? Simpan HPmu, nikmati saja masa – masa Study Tour ini. Kapan lagi, coba, kita bisa ke Bali di tengah padetnya rutinitas sekolah. Kapan lagi bisa lihat pemandangan yang indah kayak gini? Sekalian kita bisa belajar tentang sejarah dan kebudayaan Bali juga, kan? Lihat, tuh, Tari Kecaknya keren, penarinya lincah semua pula..”

            “ Ngel, stop, deh! Sekarang apa bedanya kamu sama Pak Rian, guru sejarah kita, coba? Sok – sok an ngebahas budaya – budayaan pula. Lagian, sejak kapan budaya tradisional itu keren? Kuno tahu! Lebih keren juga modern dance, seperti boyband – boyband gitu.

            Angel menghela nafas panjang, berusaha menasehati temannya. “ Iya, aku paham, May. Kamu memang nggak suka budaya tradisional, tapi setidaknya kamu menghargai kebudayaan tradisional itu sebagai warisan dari nenek moyang kita. Kamu nggak mau, kan, kejadian tadi terulang lagi?”
            Deg!

            Maya tertegun. Ia meraba paha kanannya. Terdapat bekas cakaran membiru dari paha atas hingga lututnya. Bentuknya memanjang, seperti luka cakaran kuku tiga jari sekaligus. Entahlah, siapa yang melakukannya. Maya baru menyadarinya saat ia mandi di kamar dalam hotel yang sudah disewa sekolahnya untuk program tahunan Study Tour ke Bali. Bahkan Maya tidak merasa kesakitan dengan bekas luka cakaran itu. “Aneh,” batin Maya.

            “ Ngel, sampai sekarang aku nggak ngerti, deh, kenapa di pahaku bisa ada bekas cakaran panjang yang membiru itu, aku juga nggak ngerasa kesakitan atau gimana, gitu?”

            “ Aku pikir itu peringatan dari sosok yang tidak kamu lihat, deh, May. Kamu tahu sendiri kan, Bali sisi mistisnya juga kuat. Sosok itu ngasih kamu peringatan gara – gara kamu tadi menendang sesaji yang ada deket gapura masuk ke hotel. Lagian kamu usil baget, sih, ngapain sesaji yang sudah ditata rapi – rapi malah kamu tending seenak jidatmu?”

            Yaelah, Ngel. Kamu kayak anak kecil saja, deh, percaya sama mitos. Tadi, tuh, aku kaget lihat ada barong Bali yang dipasang di dinding deket gapura itu. Serem, tahu, matanya merah melotot gitu. Makanya aku tending sesaji tadi kea rah barong itu, biar tahu rasa habis buat aku kaget gitu. Hehehehe. Tapi nggak masalah, sih, bekas cakaran itu menghilang kok,” ujar Maya cengegesan seolah tak punya dosa. Angel terdiam. Percuma saja ia mencoba untuk menasehati Maya betapa berharganya kebudayaan Indonesia itu. Percuma saja ia berusaha mengajak temannya ini untuk mencintai budaya lokal. Semenjak adanya boyband dari luar negeri yang mulai terkenal dan digandrungi remaja pada umumnya, perlahan – lahan kebudayaan tradisional dalam negeri mulai dilupakan.

Prok.. prok.. prok….
Pertunjukan Tari kecak baru saja selesai. Para penonton yang menyaksikan tarian itu memberi tepuk tangan meriah.
“ Baik, anak – anak, berhubung pertunjukan tari kecak telah udai dan sekarang sudah cukup larut malam, silahkan kalian kembali ke hotel dan masuk ke kamar kalian masing – masing. Ibu harap kalian beristirahat malam ini, jangan ada yang bermain – main. Besok kita harus melakukan perjalanan panjang kembali ke sekolahan. Agar tetap vit, kalian harus cukup beristirahat. Mengerti?”

“Ya, Bu,” murid – murid kompak menjawab pertanyaan dari penjelasan dari Bu Dina, salah satu guru pembimbing Study Tour. Mereka segera beranjak dari tempat duduk mereka dan kembali ke hotel.
“ Maya, kamu jangan pergi dulu. Ibu mau berbicara sebentar denganmu.”
“ Ada apa ya, Bu?” Maya menghampiri Bu Dina setelah menyuruh Angel untuk kembali ke hotel duluan.
“ Boleh Ibu simpan HPmu Maya?” Tangan Bu Dina terjulur ke arah Maya.
Lho, buat apa, Bu? Saya bisa menyimpannya sendiri, kok, Bu.”

“ Kamu pikir sedari tadi Ibu tidak memperhatikanmu? Puas kamu lihat MV boyband-nya? Lebih seru, ya, daripada Tari Kecaknya tadi? ” Maya tampak gelagapan dengan pertanyaan dari Bu Dina. “ Sekarang, kamu pilih mau menitipkan HPmu di Ibu atau Pak Bowo?” Dengan pasrah dan dengan mulut terkunci, Maya menyerahkan HPnya ke Bu Dina. Mana mungkin ia rela menitipkan HPnya ke Pak Bowo, kepala sekolahnya. Bisa – bisa HPnya tidak akan pernah kembali lagi padanya.

“ Satu hal yang kamu perlu tahu, Maya. Ibu menyita HPmu bukan bermaksud untuk melarangmu melihat MV boyband kesukaanmu Maya. Hanya saja, untuk sekarang hargai budaya Bali yang saat ini sedang kita pelajari. Itu tujuan dari Study Tour ini. Kamu mengerti, kan? ”

   Maya mengangguk, kemudian ia pergi kembali ke hotel tempat ia menginap setelah berpamitan kepada gurunya. Hatinya terasa dongkol. Tambah dongkol lagi ketika ia melewati pintu depan hotel yang terdapat topeng barong Bali. Matanya yang merah melotot tajam membuatnya kaget dan sedikit takut. Namun, ide iseng terlintas di pikirannya. Saat malam hari, disaat semua teman dan gurunya sedang tidur, Maya memindahkan barong Bali itu di depan pintu kamar Bu Dina. Ia sengaja melakukannya karena ia merasa kesal karena Bu Dina telah menyita HPnya. Keesokan paginya, tentu saja Bu Dina kaget setengah mati karena ada barong Bali di depan pintu kamarnya. Hampir saja ia pingsan karena merasa ketakutan. Karena takut terjadi hal – hal diluar dugaan, Bu Dina memutuskan untuk segera memulangkan murid – muridnya kembali ke sekolahan di Pulau Jawa. Maya tampak puas, rencananya berhasil dan HPnya dikembalikan karena kegiatan Study Tour telah usai.

Singkat cerita, begitu sampai di rumahnya, Maya bergegas ke kamarnya. Ia membuka lemarinya hendak berganti baju. Saat itulah pertama kali ia berteriak karena melihat barong Bali ada di lemarinya. Padahal, ia tidak membeli barong Bali sebagai oleh – oleh untuk keluarganya. Kejadian yang sama terulang saat ia hendak memasukan baju – baju yang baru saja ia cuci ke lemarinya. Barong itu masih ada di sana. Ketiga kalinya, kejadian sama terulang di pagi hari sebelum ia berangkat sekolah. Ia tahu, pasti keluarganya tidak akan pernah percaya padanya jika ia melihat ada barong di lemarinya karena mereka tidak bisa melihatnya, hanya Maya seornag saja. Tapi mengapa dan bagaimana barong Bali itu bisa ada di lemarinya?

“ Dorrrrr..!!! ”
Tepukan Rosa di bahu Maya membuatnya tersentak kaget memikirkan kejadian demi kejadian yang ia alami hampir seminggu ini.
“ Apa, sih, Kak? Kaget, tau!”

Rosa tertawa, “ Lha kamu, tuh, kenapa sedari tadi bengong saja? Ntar sekolahanmu kelewatan, lho!”

Akhirnya, Maya menceritakan semua kejadian yang ia alami selama di Bali, termasuk kelakuan isengnya mengerjai Bu Dina. Rosa tertawa geli dan menasehati adiknya.

Dek, dengarkan Kakak. Iya aku tahu kamu suka boyband tapi bukan berarti kamu punya alesan untuk nggak suka budaya lokal. Justru kita sebagai generasi penerus bangsa ini harus menjaga dan melestarikan budaya tradisional itu. Kita aja orang Indonesia bisa suka budaya luar negeri seperti boyband yang masuk ke dalam negeri kita. Coba bayangin saja kalau budaya Indonesia bisa terkenal sampai ke luar negeri dan disukai oleh orang – orang di luar negeri sana. Indonesia, tuh, kaya banget sama yang namanya kebudayaan. Harusnya kita bangga akan hal itu. Bahkan beberapa kebudayaan Indonesia sudah diakui oleh UNESCO, kan? Untuk masalahmu dengan Bu Dina, lebih baik kamu minta maaf saja sama beliau. Kakak pikir barong yang ada di lemarimu itu berusaha mengingatkanmu untuk menghargai dan mencintai budaya tradisional kita ini dan juga menjaga tradisi kesopanan atau unggah – ungguh. Tahu sendiri, kan, May, nggak cuma budaya lokal, tapi sopan santun di tangan kids zaman now juga udah mulai luntur.

Baru saja Maya ingin menimpali kata – kata kakaknya, angkot yang dinaikinya berhenti. Rupanya ia sudah sampai di sekolahannya. Ia benar – benar telah menyadari perbuatannya yang cukup memalukan bagi dirinya sendiri. “ Benar kata Angel dan Kak Rosa, harusnya aku bangga dengan budaya tradisional warisan nenek moyang Indonesia. Mengapa aku justru bangga dengan budaya luar dan malah menjelek – jelekan budayaku sendiri?” batinnya.

Sepanjang pelajaran di sekolah, Maya tampak tidak fokus. Ia benar – benar menyesali perbuatannya, terutama perbuatan isengnya kepada Bu Dina. Saat pulang sekolah pun Maya memberanikan diri menemui Bu Dina. Ia menceritakan segalanya pada Bu Dina tentang barong Bali itu. Dengan tulus, Bu Dina memaafkan Maya. Ia juga menasehati Maya betapa berharganya budaya tradisonal itu bagi bangsa Indonesia. “ Budaya kita ini adalah kekayaan yang tak ternilai harganya, May, harusnya kamu bangga akan hal itu,” pesan Bu Dian.

Maya pun pulang ke rumah dengan hati yang lega. “ Terima kasih barong Bali, kamu telah mengingatkanku pentingnya melestarikan kebudayaan Indonesia ini,” ucapnya dalam hati.

Begitu ia sampai di rumah, ia mendapati mobil Papanya yang terpakir di halaman depan rumah. Rupanya Papanya sudah pulang dari dinas di luar kotanya.

“ Papaaaaaa, aku kangen Papa..” Maya berhambur di pelukan Papanya.

“ Hmmm, putri kecil Papa sudah pulang rupanya, mandi terus ganti baju dulu sana, bau keringetnya harum sekali..” Maya tertawa dengan kata – kata Papanya yang bermajas ironi, gaya bahasa yang menyatakan makna bertentangan dengan maksud menyindir, tetapi menggunakan kata – kata halus.

“ Maya nggak mau ganti baju, Pa. Takut. Di lemari Maya ada barong Bali penunggu lemarinya. Hahahaha..” Rosa datang membawa secangkir kopi hitam hangat untuk Papanya. Rupanya Rosa sudah pulang lebih dulu dari pada adiknya.

“ Barong? Maksud kakakmu apa Maya?” Tanya Papa terheran – heran.
“ Iya, Pa. Jadi udah ketiga kalinya Maya lihat ada barong Bali di lemari Maya. Serem banget, Pa. Matanya merah melotot gitu.” Maya menjelaskan seraya bergidik ngeri.

“ Oh iya, Papa lupa ngomong. Jadi sebelum kamu berangkat ke Bali kemarin, ada teman kantor Papa yang minta nitip dibelikan dulu topeng barong Bali kecil untuk anaknya yang mau pentas tari tarian Bali seperti itu. Sebagai contoh, teman Papa tadi menitipkan barong Bali supaya kamu ada gambaran untuk membelinya nanti di Bali. Eh, belum sempat Papa menunjukkan padamu, kamu malah sudah keburu berangkat. Ya sudah, tidak jadi,” jelas Papa panjang lebar.

“ Oh, jadi itu barong Bali milik teman Papa. Maya kira hantu barong kayak­ di film – film horror gitu, hahahahaha..”

“ Maya, Kak Rosa, Papa, ayo kita makan siang dulu,” ujar Mama dari arah dapur.

“ Tapi, May, sebelum Papa dinas ke luar kota, Papa sudah mengembalikan barong itu ke teman Papa kok, ya maksud Papa biar kamu tidak takut lihat barong dengan mata hitam pekat itu.  Sudah lah, tidak perlu dipikirkan. Ayo kita makan siang,” Papa berkata seraya berjalan menuju arah dapur.

Maya terdiam. Kata – kata Papa terngiang – ngiang di telinganya.
“ Papa sudah mengembalikan barong itu ke teman Papa..”
“sebelum Papa dinas ke luar kota..”
“barong  dengan mata hitam pekat..”
“dengan mata hitam pekat...”
“mata hitam pekat…”
Lantas, siapa barong Bali dengan mata merah melotot yang ada dalam lemari Maya?

Cerpen karya Angela Merrici di atas sangat menarik, bukan? Setelah membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom komentar, ya! Terima kasih sudah berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di postingan selanjutnya, stay tuned! 

Sibema 33



Barong Penunggu Lemari-Angela Merrici (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018) Barong Penunggu Lemari-Angela Merrici (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018) Reviewed by G-MAGZ on Januari 18, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar

The Slider

slider