Alunan Musik Gamelan-Hadana Sabila (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)


Halo semua, bertemu lagi di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya, kita sudah membagikan salah satu karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini, kita akan membagikan karya dari peserta lain yang tentunya tidak kalah menarik. Nah, berikut ini merupakan karya dari Hadana Sabila 'Arsyistawa kelas XII IPA 1. Jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya menarik untuk diikuti. 


—∑βγ

Alunan Musik Gamelan

Sore itu, keempat roda mobilku berputar perlahan melewati jalan sempit pedesaan yang berbatu. Ya, liburan panjangku akan dihabiskan di sini, sebuah desa kecil di pelosok Yogyakarta. Jauh berbeda dari liburan-liburan sebelumnya, jalan-jalan ke luar negeri, luar kota, berbelanja di mall-mall besar di ibukota, atau nongkrong bersama teman-teman sekolahku.

Dengan wajah cemberut dan murung aku menatap ke luar jendela mobil. Membosankan sekali rasanya. Hanya ada sawah-sawah luas dan pepohonan yang tinggi di sepanjang jalan pedesaan menuju rumah nenekku. Sebenarnya, aku orang yang paling menolak saat papa mengajak keluarga kami liburan di rumah nenek yang terpelosok ini, tapi papa memaksa dan justru marah saat aku menolak. “Kei, kamu harus merasakan hidup di desa, biar kamu nggak cuma belanja-belanja di mall, nongkrong sama temen-temen, dan main gadget terus.” Kata papa dengan nada yang tinggi. Akhirnya dengan berat hati aku pun ikut pergi. "Liburan di desa nggak kalah seru sama di kota kok. Tenang aja." kata mama. Mulutku hanya terdiam, tapi dalam hati aku menjawab "Apanya yang seru? nggak ada mall buat belanja, nggak ada cafe yang bisa jadi tempat nongkrong, bahkan cari sinyal buat streaming youtube juga susah."

Tidak lama kemudian, kami sampai di rumah nenek. Nenek terlihat sudah siap menyabut kami di teras rumah. Sesaat setelah mobil berhenti kedua adikku, Rafa dan Tasya, langsung membuka pintu mobil dan berteriak memanggil nenek sambil berlari mendekatinya. Tak lama kemudian mama ikut turun, disusul papa yang turun untuk menurunkan barang-barang kami. Mereka semua terlihat bahagia, sedangkan aku masih memasuk-masukkan barangku ke dalam tas sambil menggerutu kesal. "Ayo turun, Keira!" Mama memanggilku untuk segera turun. Aku pun turun dari mobil dan mendekati menek dengan wajah cemberut. Aku bersalaman dan mencium tangan nenek. "Wah, iki putuku sing ayu wis gedhe." Aku hanya tersenyum tipis mendengar sapaan nenek. Nenek lalu mengajak kami masuk dan menunjukkan kamar kami masing-masing. Kami pun beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang dari Jakarta ke Yogyakarta.

Keesokan harinya, kicauan burung-burung di sawah membangunkanku. Suara yang jarang sekali aku dengar, tapi tetap saja, suara burung-burung itu tidak membuatku seketika betah tinggal di desa ini. Sehari rasa setahun, waktu terasa berjalan sangat lambat, tidak ada hiburan dan sangat membosankan. Di tengah-tengah suara kicauan, terdengar suara mama yang menyuruhku mandi, lalu sarapan bersama. Setelah selesai sarapan, seorang bapak-bapak separuh baya datang, nenek pun memperkenalkan bapak itu kepada kami, "Ini pak Pardi, pak Pardi ini salah satu pengurus sawah-sawah nenek. Nah, hari ini pak Pardi akan menemani kalian main di sawah ya." Kedua adikku berteriak kegirangan. Tidak hanya mereka, aku pun merasa senang, bukan karena akan bermain di sawah, tapi karena aku ingin mencari sinyal.

Sesampainya di sawah, pak Pardi memanggil seluruh petani yang ada di sawah nenekku dan memperkenalkan aku beserta kedua adikku kepada mereka. Mereka menyapa kami dengan sangat ramah dan menyenangkan. Udara pagi di sawah juga jauh lebih sejuk dibanding udara pagi di perkotaan. Sayangnya, tetap saja aku tidak mendapat sinyal di sini, walaupun aku sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Aku yang masih terus berusaha mencari sinyal, tiba-tiba terhenti karena mendengar suara gamelan. Perlahan aku melangkah mencari sumber suara itu, hingga tiba lah aku di sebuah pendopo kecil yang tidak jauh dari sawah. Aku melihat remaja-remaja seusiaku sedang asik memainkan gamelan. “Dor!” tiba-tiba Rafa dan Tasya mengageti aku dari belakang. “ah apa sih, ngagetin aja.” Pak Pardi yang mengetahui aku sedang melihat kea rah pondopo, berkata “Itu sanggar karawitan di desa ini. Dulu, eyang putri sama eyang kakung kalian itu pemain karawitan yang hebat, mereka juga yang menjadi pelopor berdirinya sanggar itu. ”Aku yang baru mengetahui hal itu terheran-heran, “oh ya? Kok aku baru tahu?” kemudian pak Pardi mengajak aku dan adik-adikku ke pendopo itu. Pak Pardi memanggil mereka, “Mas, mbak, ini mbak Keira, mas Rafa, sama mbak Tasya, mereka ini cucu-cucu pak Widodo dan Bu Sri, pendiri sanggar ini.” Mereka semua langsung menyapa dan bersalaman dengan kami satu per satu, bahkan mengajak kami berkenalan. Tetapi, ada seorang anak laki-laki yang hanya menatap kami. Aku mendekati dia dan mengajaknya bersalaman “aku Keira, kamu siapa?” dia hanya diam, lalu berlari pergi. “ih sombong banget.” Bisikku saat itu.

Sesampainya di rumah, adik-adikku menceritakan kekagumannya pada nenek dan kakek setelah tau bahwa mereka pendiri sanggar karawitan. Nenek berkata “Sekarang kalian sudah tahu kan? Nanti kalau Rafa sama Tasya sudah besar, kalian belajar karawitan ya dan Keira mulai besok pagi kamu ke pendopo dan belajar karawitan di sana ya, nduk.” Aku langsung menolak, “Apa? Engga, Keira nggak mau.” Nenek menjawab, “Ra, kamu itu cucu tertua nenek, kamu harus menjadi penerus kakek nenek dan melestarikan karawitan.” Ayah yang duduk di sebelahku ikut membujuk, “Ayolah kei, coba aja. Kamu belum pernah kan belajar karawitan? Atau kamu mau bantu pak Pardi di sawah aja?” akhirnya aku terpaksa menyetujui untuk belajar karawitan.

            Keesokan harinya, pak Pardi menjemput aku untuk pergi ke pendopo. Di sana aku diajari bermain gamelan. Aku setengah hati mendengarkan pengajarku, bahkan aku hanya memukul gamelan asal-asalan karena sebenarnya aku sangat terpaksa berada di sana aku hanya tidak mau disuruh bantu-bantu di sawah. Aku tahu, sebenarnya pengajarku mulai sedikit jengkel kepadaku, tapi siapa yang berani memarahiku? Kakek dan nenekku adalah pendiri sanggar ini, pikirku saat itu. Orang-orang di sini masih seperti hari sebelumnya, mereka menyapaku dan mengajakku ngobrol dengan sangat ramah. Namun, anak laki-laki itu juga masih sama seperti sebelumnya, hanya menatap dan tidak mau menyapa. “Siapa anak itu? Kenapa dia nggak mau kenalan sama aku? Bahkan nyapa aja nggak pernah.” Banyak pertanyaan yang melintas di benakku, sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada pak Pardi, “Pak, itu siapa sih?” pak Pardi sontak menengok ke arah anak itu, lalu menjawab petanyaanku, “Oh, itu Jalu, dia masih seumuran sama mbak Keira, sebenarnya dia masih SMA juga, tapi dia udah nggak sekolah, mbak.”

            Hari demi hari aku lewati, tidak terasa sudah seminggu aku di sini. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan keseharianku. Aku juga mulai terbiasa bermain gamelan dan sudah tidak seterpaksa saat pertama kali aku mencobanya. Tapi, setiap kali aku bertemu Jalu, aku semakin penasaran dengan anak itu. Dia sebenarnya tampan, dia juga terlihat seperti anak yang lugu dan tidak sombong, tapi entah mengapa dia tidak pernah mau berbicara kepadaku, bahkan selama seminggu aku belajar karawitan di sana, aku tidak pernah melihat dia mengobrol dengan teman-temannya. Akhirnya, setelah selesai berlatih, aku memutuskan untuk mengikuti Jalu secara diam-diam. Aku terus mengikuti dia berjalan, hingga akhirnya langkahku berhenti di suatu pasar. Aku melihat dia masuk ke pasar itu. Aku memutuskan untuk menunggunya di luar. Tidak lama kemudian, aku melihat Jalu keluar dari pasar dengan karung besar berisi sayuran di pundaknya. Ternyata dia bekerja sebagai kuli panggul. Setelah selesai membawa karung-karung itu, seorang ibu-ibu memberi sejumlah uang dan respon Jalu membuatku tercengang. Dia berterima kasih dengan bahasa isyarat. Setelah selama ini aku menganggapnya sebagai orang yang sombong dan tidak pernah berbicara kepada orang lain, ternyata itu semua bukan karena dia tidak mau, tapi karena tidak bisa. Aku masih memantau dia dari kejauhan. Dia pun masih terus keluar masuk pasar memanggul belanjaan. Sampai beberapa jam kemudian, dia pergi dari pasar membawa bungkusan kecil digenggamannya. Aku masih mengikutinya sampai ke rumah. Aku melihat dia memasuki sebuah gubuk kecil yang jauh dari kata layak untuk disebut rumah. Aku mengintip dari salah satu lubang dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Aku melihat Jalu membuka bungkusan yang dibawanya, lalu menyuapi ibunya yang terbaring lemah di tempat tidurnya.  Ternyata dia hanya tinggal berdua di rumah itu bersama ibunya yang sedang sakit.

            Setelah seharian mengikuti Jalu, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Setidaknya, sebagian rasa penasaranku mulai terjawab.

            Keesokan harinya, aku berangkat ke pendopo lebih pagi dari biasanya. Aku melihat di sana masih sepi, teman-temanku belum datang karena latihan baru akan dimulai satu jam lagi. Di sana aku tidak melihat seorang pun selain Jalu. Dia sedang memainkan gamelan kesukaannya. Aku mendekatin dan menyapa dia. Tidak seperti sebelumnya, aku tidak lagi berharap dia akan membalas sapaanku. Aku duduk di sampingnya, lalu berkata “Aku udah tau kok, kenapa kamu nggak pernah nyapa aku, tapi walaupun kita nggak bisa ngobrol, tapi kamu mau kan ngajarin aku main gamelan?” dia menengok ke arahku lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Saat itu, pertama kalinya aku melihat dia tersenyum, setelah selama ini aku melihatnya sebagai anak yang sangat pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Sejak saat itu pula aku semakin mengenal dia, dia mulai terbuka untuk mengajari aku bermain gamelan, bercanda, dan menjahili aku. Entah perasaan apa yang aku rasakan. Kekagumanku pada Jalu membuatku tidak bisa berhenti memikirkan dia.

Semakin hari kami semakin dekat. Aku pun semakin betah tinggal di desa itu dan semakin menyukai gamelan. Sampai akhirnya, liburanku hamper usai. Besok aku harus berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahku. Dengan berat hati aku memberitahu hal ini kepada Jalu, “Jalu, dua hari lagi aku masuk sekolah. Jadi, besok aku harus berangkat ke Jakarta.” Kami sama-sama terdiam “Tapi, 6 bulan lagi setelah aku lulus sekolah, aku akan kembali ke sini untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta sekaligus mendalami karawitan di sini. Jadi, kita bisa ketemu lagi.” Dia tersenyum dan mengangguk.

            Keesokan harinya, aku harus berangkat ke Jakarta. Entah mengapa aku merasa sangat berat meninggalkan desa ini. Aku hanya termenung melihat ke luar jendela mobil. Hingga saat aku melewati depan rumah Jalu, ternyata dia sedang menunggu aku melewati rumahnya. Dia berdiri dari tempat duduknya, dan melambaikan tangan dengan senyum lebar di wajahnya. Aku langsung membalas lambaikan tangan kepadanya, aku langsung mendekati kaca belakang mobil agar bisa melihatnya lebih lama. Ketika dia mulai tidak terlihat, tiba-tiba air mataku menetes. Entah mengapa aku merasa sangat sedih saat itu.

            Hari demi hari aku lewati, aku selalu menunggu hari dimana aku akan kembali ke kampong halaman untuk bertemu nenek dan Jalu di sana. Hingga 6 bulan kemudian, aku resmi lulus sekolah dan tiba saatnya kembali ke Yogyakarta.

            Setibanya di rumah nenek, aku pamit untuk pergi ke rumah Jalu. Aku mengetuk pintu rumah Jalu beberapa kali hingga akhir seorang ibu separuh baya membukakan pintu. Ia terlihat jauh lebih sehat dibanding saat aku melihatnya pertama kali. “Permisi bu, Saya Keira, ibu ibunya Jalu?” ibu itu menjawab, “Iya benar, ada apa mbak?” aku langsung menjawab “Jalunya ada bu?” ibu itu terdiam, beliau menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, lalu menggelengkan kepala. Beliau mempersilahkan aku masuk dan duduk di atas kursi bambu. Aku yang tidak sabar bertemu Jalu menanyakan lagi kepada ibunya, “Jalunya ke mana bu?” ibu itu menjawab dengan lirih, “Jalu sudah meninggal. Dia hanyut di sungai saat menjala ikan, sebulan yang lalu.” aku tidak bisa berkata-kata, aku masih tidak percaya mendengar hal itu, aku masih berharap kalau ibu itu bercanda dan hanya membohongiku. Belum sempat aku mengatakan sepatah katapun, ibu Jalu menyambung perkataannya, “Jalu itu anak yang baik, dia berbakti kepada ibu. Dia yang merawat itu sejak ayahnya meninggal. Dia juga yang menjadi tulang punggung keluarga sejak saya sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja. Dia rela berhenti sekolah walaupun dia berprestasi. Dia memilih kerja serabutan untuk membantu ibunya.” Aku masih terdiam tidak mampu berkata-kata. Ibu Jalu mengusap air matanya lalu beranjak dari tempat duduknya. Beliau masih ke dalam rumah lalu keluar membawa sebuah alat pemukul gamelan dan sebuah amplop. Beliau memberikannya kepadaku dan berkata “Ini kethuk kesayangan Jalu, ibu menemukan kethuk dan surat ini di kamar Jalu.” Aku semakin tidak bisa menahan air mataku. Perlahan aku membuka amplop itu dan membaca sebuah surat di dalamnya yang berisi “Untuk: Keira. Ini kethuk untuk kamu. Jangan berhenti belajar dan melestarikan gamelan. Kethuk ini akan menemani kamu berlatih gamelan di mana pun kamu berada.”

Sejak saat itu, aku semakin giat berlatih gamelan. Aku merasa Jalu selalu menemaniku setiap aku berlatih dengan kethuk itu. Aku sudah berjanji kapada diriku sendiri dan kepada Jalu untuk terus belajar dan mencintai gamelan. Aku akan meneruskan perjuangan nenek dan almarhum kakek untuk melestarikan gamelan agar anak cucuku kelak bisa menikmati keindahan alunan musik gamelan.

Sore itu, keempat roda mobilku berputar perlahan melewati jalan sempit pedesaan yang berbatu. Ya, liburan panjangku akan dihabiskan di sini, sebuah desa kecil di pelosok Yogyakarta. Jauh berbeda dari liburan-liburan sebelumnya, jalan-jalan ke luar negeri, luar kota, berbelanja di mall-mall besar di ibukota, atau nongkrong bersama teman-teman sekolahku.

Dengan wajah cemberut dan murung aku menatap ke luar jendela mobil. Membosankan sekali rasanya. Hanya ada sawah-sawah luas dan pepohonan yang tinggi di sepanjang jalan pedesaan menuju rumah nenekku. Sebenarnya, aku orang yang paling menolak saat papa mengajak keluarga kami liburan di rumah nenek yang terpelosok ini, tapi papa memaksa dan justru marah saat aku menolak. “Kei, kamu harus merasakan hidup di desa, biar kamu nggak cuma belanja-belanja di mall, nongkrong sama temen-temen, dan main gadget terus.” Kata papa dengan nada yang tinggi. Akhirnya dengan berat hati aku pun ikut pergi. "Liburan di desa nggak kalah seru sama di kota kok. Tenang aja." kata mama. Mulutku hanya terdiam, tapi dalam hati aku menjawab "Apanya yang seru? nggak ada mall buat belanja, nggak ada cafe yang bisa jadi tempat nongkrong, bahkan cari sinyal buat streaming youtube juga susah."

Tidak lama kemudian, kami sampai di rumah nenek. Nenek terlihat sudah siap menyabut kami di teras rumah. Sesaat setelah mobil berhenti kedua adikku, Rafa dan Tasya, langsung membuka pintu mobil dan berteriak memanggil nenek sambil berlari mendekatinya. Tak lama kemudian mama ikut turun, disusul papa yang turun untuk menurunkan barang-barang kami. Mereka semua terlihat bahagia, sedangkan aku masih memasuk-masukkan barangku ke dalam tas sambil menggerutu kesal. "Ayo turun, Keira!" Mama memanggilku untuk segera turun. Aku pun turun dari mobil dan mendekati menek dengan wajah cemberut. Aku bersalaman dan mencium tangan nenek. "Wah, iki putuku sing ayu wis gedhe." Aku hanya tersenyum tipis mendengar sapaan nenek. Nenek lalu mengajak kami masuk dan menunjukkan kamar kami masing-masing. Kami pun beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang dari Jakarta ke Yogyakarta.

Keesokan harinya, kicauan burung-burung di sawah membangunkanku. Suara yang jarang sekali aku dengar, tapi tetap saja, suara burung-burung itu tidak membuatku seketika betah tinggal di desa ini. Sehari rasa setahun, waktu terasa berjalan sangat lambat, tidak ada hiburan dan sangat membosankan. Di tengah-tengah suara kicauan, terdengar suara mama yang menyuruhku mandi, lalu sarapan bersama. Setelah selesai sarapan, seorang bapak-bapak separuh baya datang, nenek pun memperkenalkan bapak itu kepada kami, "Ini pak Pardi, pak Pardi ini salah satu pengurus sawah-sawah nenek. Nah, hari ini pak Pardi akan menemani kalian main di sawah ya." Kedua adikku berteriak kegirangan. Tidak hanya mereka, aku pun merasa senang, bukan karena akan bermain di sawah, tapi karena aku ingin mencari sinyal.

Sesampainya di sawah, pak Pardi memanggil seluruh petani yang ada di sawah nenekku dan memperkenalkan aku beserta kedua adikku kepada mereka. Mereka menyapa kami dengan sangat ramah dan menyenangkan. Udara pagi di sawah juga jauh lebih sejuk dibanding udara pagi di perkotaan. Sayangnya, tetap saja aku tidak mendapat sinyal di sini, walaupun aku sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Aku yang masih terus berusaha mencari sinyal, tiba-tiba terhenti karena mendengar suara gamelan. Perlahan aku melangkah mencari sumber suara itu, hingga tiba lah aku di sebuah pendopo kecil yang tidak jauh dari sawah. Aku melihat remaja-remaja seusiaku sedang asik memainkan gamelan. “Dor!” tiba-tiba Rafa dan Tasya mengageti aku dari belakang. “ah apa sih, ngagetin aja.” Pak Pardi yang mengetahui aku sedang melihat kea rah pondopo, berkata “Itu sanggar karawitan di desa ini. Dulu, eyang putri sama eyang kakung kalian itu pemain karawitan yang hebat, mereka juga yang menjadi pelopor berdirinya sanggar itu. ”Aku yang baru mengetahui hal itu terheran-heran, “oh ya? Kok aku baru tahu?” kemudian pak Pardi mengajak aku dan adik-adikku ke pendopo itu. Pak Pardi memanggil mereka, “Mas, mbak, ini mbak Keira, mas Rafa, sama mbak Tasya, mereka ini cucu-cucu pak Widodo dan Bu Sri, pendiri sanggar ini.” Mereka semua langsung menyapa dan bersalaman dengan kami satu per satu, bahkan mengajak kami berkenalan. Tetapi, ada seorang anak laki-laki yang hanya menatap kami. Aku mendekati dia dan mengajaknya bersalaman “aku Keira, kamu siapa?” dia hanya diam, lalu berlari pergi. “ih sombong banget.” Bisikku saat itu.

Sesampainya di rumah, adik-adikku menceritakan kekagumannya pada nenek dan kakek setelah tau bahwa mereka pendiri sanggar karawitan. Nenek berkata “Sekarang kalian sudah tahu kan? Nanti kalau Rafa sama Tasya sudah besar, kalian belajar karawitan ya dan Keira mulai besok pagi kamu ke pendopo dan belajar karawitan di sana ya, nduk.” Aku langsung menolak, “Apa? Engga, Keira nggak mau.” Nenek menjawab, “Ra, kamu itu cucu tertua nenek, kamu harus menjadi penerus kakek nenek dan melestarikan karawitan.” Ayah yang duduk di sebelahku ikut membujuk, “Ayolah kei, coba aja. Kamu belum pernah kan belajar karawitan? Atau kamu mau bantu pak Pardi di sawah aja?” akhirnya aku terpaksa menyetujui untuk belajar karawitan.

            Keesokan harinya, pak Pardi menjemput aku untuk pergi ke pendopo. Di sana aku diajari bermain gamelan. Aku setengah hati mendengarkan pengajarku, bahkan aku hanya memukul gamelan asal-asalan karena sebenarnya aku sangat terpaksa berada di sana aku hanya tidak mau disuruh bantu-bantu di sawah. Aku tahu, sebenarnya pengajarku mulai sedikit jengkel kepadaku, tapi siapa yang berani memarahiku? Kakek dan nenekku adalah pendiri sanggar ini, pikirku saat itu. Orang-orang di sini masih seperti hari sebelumnya, mereka menyapaku dan mengajakku ngobrol dengan sangat ramah. Namun, anak laki-laki itu juga masih sama seperti sebelumnya, hanya menatap dan tidak mau menyapa. “Siapa anak itu? Kenapa dia nggak mau kenalan sama aku? Bahkan nyapa aja nggak pernah.” Banyak pertanyaan yang melintas di benakku, sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada pak Pardi, “Pak, itu siapa sih?” pak Pardi sontak menengok ke arah anak itu, lalu menjawab petanyaanku, “Oh, itu Jalu, dia masih seumuran sama mbak Keira, sebenarnya dia masih SMA juga, tapi dia udah nggak sekolah, mbak.”

            Hari demi hari aku lewati, tidak terasa sudah seminggu aku di sini. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan keseharianku. Aku juga mulai terbiasa bermain gamelan dan sudah tidak seterpaksa saat pertama kali aku mencobanya. Tapi, setiap kali aku bertemu Jalu, aku semakin penasaran dengan anak itu. Dia sebenarnya tampan, dia juga terlihat seperti anak yang lugu dan tidak sombong, tapi entah mengapa dia tidak pernah mau berbicara kepadaku, bahkan selama seminggu aku belajar karawitan di sana, aku tidak pernah melihat dia mengobrol dengan teman-temannya. Akhirnya, setelah selesai berlatih, aku memutuskan untuk mengikuti Jalu secara diam-diam. Aku terus mengikuti dia berjalan, hingga akhirnya langkahku berhenti di suatu pasar. Aku melihat dia masuk ke pasar itu. Aku memutuskan untuk menunggunya di luar. Tidak lama kemudian, aku melihat Jalu keluar dari pasar dengan karung besar berisi sayuran di pundaknya. Ternyata dia bekerja sebagai kuli panggul. Setelah selesai membawa karung-karung itu, seorang ibu-ibu memberi sejumlah uang dan respon Jalu membuatku tercengang. Dia berterima kasih dengan bahasa isyarat. Setelah selama ini aku menganggapnya sebagai orang yang sombong dan tidak pernah berbicara kepada orang lain, ternyata itu semua bukan karena dia tidak mau, tapi karena tidak bisa. Aku masih memantau dia dari kejauhan. Dia pun masih terus keluar masuk pasar memanggul belanjaan. Sampai beberapa jam kemudian, dia pergi dari pasar membawa bungkusan kecil digenggamannya. Aku masih mengikutinya sampai ke rumah. Aku melihat dia memasuki sebuah gubuk kecil yang jauh dari kata layak untuk disebut rumah. Aku mengintip dari salah satu lubang dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Aku melihat Jalu membuka bungkusan yang dibawanya, lalu menyuapi ibunya yang terbaring lemah di tempat tidurnya.  Ternyata dia hanya tinggal berdua di rumah itu bersama ibunya yang sedang sakit.

            Setelah seharian mengikuti Jalu, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Setidaknya, sebagian rasa penasaranku mulai terjawab.

            Keesokan harinya, aku berangkat ke pendopo lebih pagi dari biasanya. Aku melihat di sana masih sepi, teman-temanku belum datang karena latihan baru akan dimulai satu jam lagi. Di sana aku tidak melihat seorang pun selain Jalu. Dia sedang memainkan gamelan kesukaannya. Aku mendekatin dan menyapa dia. Tidak seperti sebelumnya, aku tidak lagi berharap dia akan membalas sapaanku. Aku duduk di sampingnya, lalu berkata “Aku udah tau kok, kenapa kamu nggak pernah nyapa aku, tapi walaupun kita nggak bisa ngobrol, tapi kamu mau kan ngajarin aku main gamelan?” dia menengok ke arahku lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Saat itu, pertama kalinya aku melihat dia tersenyum, setelah selama ini aku melihatnya sebagai anak yang sangat pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Sejak saat itu pula aku semakin mengenal dia, dia mulai terbuka untuk mengajari aku bermain gamelan, bercanda, dan menjahili aku. Entah perasaan apa yang aku rasakan. Kekagumanku pada Jalu membuatku tidak bisa berhenti memikirkan dia.

Semakin hari kami semakin dekat. Aku pun semakin betah tinggal di desa itu dan semakin menyukai gamelan. Sampai akhirnya, liburanku hamper usai. Besok aku harus berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahku. Dengan berat hati aku memberitahu hal ini kepada Jalu, “Jalu, dua hari lagi aku masuk sekolah. Jadi, besok aku harus berangkat ke Jakarta.” Kami sama-sama terdiam “Tapi, 6 bulan lagi setelah aku lulus sekolah, aku akan kembali ke sini untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta sekaligus mendalami karawitan di sini. Jadi, kita bisa ketemu lagi.” Dia tersenyum dan mengangguk.

            Keesokan harinya, aku harus berangkat ke Jakarta. Entah mengapa aku merasa sangat berat meninggalkan desa ini. Aku hanya termenung melihat ke luar jendela mobil. Hingga saat aku melewati depan rumah Jalu, ternyata dia sedang menunggu aku melewati rumahnya. Dia berdiri dari tempat duduknya, dan melambaikan tangan dengan senyum lebar di wajahnya. Aku langsung membalas lambaikan tangan kepadanya, aku langsung mendekati kaca belakang mobil agar bisa melihatnya lebih lama. Ketika dia mulai tidak terlihat, tiba-tiba air mataku menetes. Entah mengapa aku merasa sangat sedih saat itu.

            Hari demi hari aku lewati, aku selalu menunggu hari dimana aku akan kembali ke kampong halaman untuk bertemu nenek dan Jalu di sana. Hingga 6 bulan kemudian, aku resmi lulus sekolah dan tiba saatnya kembali ke Yogyakarta.

            Setibanya di rumah nenek, aku pamit untuk pergi ke rumah Jalu. Aku mengetuk pintu rumah Jalu beberapa kali hingga akhir seorang ibu separuh baya membukakan pintu. Ia terlihat jauh lebih sehat dibanding saat aku melihatnya pertama kali. “Permisi bu, Saya Keira, ibu ibunya Jalu?” ibu itu menjawab, “Iya benar, ada apa mbak?” aku langsung menjawab “Jalunya ada bu?” ibu itu terdiam, beliau menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, lalu menggelengkan kepala. Beliau mempersilahkan aku masuk dan duduk di atas kursi bambu. Aku yang tidak sabar bertemu Jalu menanyakan lagi kepada ibunya, “Jalunya ke mana bu?” ibu itu menjawab dengan lirih, “Jalu sudah meninggal. Dia hanyut di sungai saat menjala ikan, sebulan yang lalu.” aku tidak bisa berkata-kata, aku masih tidak percaya mendengar hal itu, aku masih berharap kalau ibu itu bercanda dan hanya membohongiku. Belum sempat aku mengatakan sepatah katapun, ibu Jalu menyambung perkataannya, “Jalu itu anak yang baik, dia berbakti kepada ibu. Dia yang merawat itu sejak ayahnya meninggal. Dia juga yang menjadi tulang punggung keluarga sejak saya sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja. Dia rela berhenti sekolah walaupun dia berprestasi. Dia memilih kerja serabutan untuk membantu ibunya.” Aku masih terdiam tidak mampu berkata-kata. Ibu Jalu mengusap air matanya lalu beranjak dari tempat duduknya. Beliau masih ke dalam rumah lalu keluar membawa sebuah alat pemukul gamelan dan sebuah amplop. Beliau memberikannya kepadaku dan berkata “Ini kethuk kesayangan Jalu, ibu menemukan kethuk dan surat ini di kamar Jalu.” Aku semakin tidak bisa menahan air mataku. Perlahan aku membuka amplop itu dan membaca sebuah surat di dalamnya yang berisi “Untuk: Keira. Ini kethuk untuk kamu. Jangan berhenti belajar dan melestarikan gamelan. Kethuk ini akan menemani kamu berlatih gamelan di mana pun kamu berada.”

Sejak saat itu, aku semakin giat berlatih gamelan. Aku merasa Jalu selalu menemaniku setiap aku berlatih dengan kethuk itu. Aku sudah berjanji kapada diriku sendiri dan kepada Jalu untuk terus belajar dan mencintai gamelan. Aku akan meneruskan perjuangan nenek dan almarhum kakek untuk melestarikan gamelan agar anak cucuku kelak bisa menikmati keindahan alunan musik gamelan.

Cerpen karya Hadana Sabila 'Arsyistawa di atas sangat menarik, bukan? Setelah membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom komentar, ya! Terima kasih sudah berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di postingan selanjutnya, stay tuned! 
Sibema 33

Alunan Musik Gamelan-Hadana Sabila (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018) Alunan Musik Gamelan-Hadana Sabila (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018) Reviewed by G-MAGZ on Januari 18, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar

The Slider

slider