Indonesian Habit-Allika Estri (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Halo semua, bertemu lagi
di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya, kita sudah membagikan salah satu
karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini, kita akan membagikan karya dari
peserta lain yang tentunya tidak kalah menarik. Nah, berikut
ini merupakan karya dari Allika Estri kelas XI IPA 3. Jangan lupa tinggalkan
komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog
kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya
menarik untuk diikuti.
—∑βγ—
Indonesian Habit
Karya
: Allika Estri Nugrahani
“Tuan
Presiden, sebagai rakyat Indonesia, yang banyak orang tahu dengan keberagaman
budayanya, beribu-ribu pulaunya dengan segala perbedaan yang justru membuat
bangsa kita maju. Bagaimana bisa Anda menganggap Pulau Sipadan dan Ligitan
milik Malaysia?” ucap seorang pembela NKRI di hadapan Mahkamah Internasional.
“Jelas
sudah pulau ini jatuh kepada Malaysia. Pulau ini kosong, tidak dikembangkan,
ditelantarkan. Berikan saya argumen lagi bahwa pulau ini berhak menjadi milik
negara Indonesia.” tegas ketua Mahkamah Internasional.
***
Pagi
hari aroma kopi semerbak memenuhi ruangan milik seorang Chandra Nagara
Situmpang. Seorang yang masih belia, tetapi dibekali otak yang cerdas, wajah
yang tampan, tubuh yang gagah, semua orang akan menganggap ia sebagai manusia
sempurna. Namun, manusia tidak ada yang sempurna, ia sedang dihujani dengan
kritik bahkan caci maki. Headline koran
yang sedang dipegangnya membuat harinya tidak cerah lagi.
“Indonesia Kalah Berargumen, Pulau
Sipadan Ligitan kini Milik Malaysia, Masyarakat Geram”
“Dasar
koran kurang ajar, lo pikir adu argumen di sana gampang apa?” monolog gerutu
Chandra dimulai sambil melemparkan koran ke meja.
“Udahlah
Chandra gak usah dipikir bener-bener gitu, kalo udah takdir ya udah.” ucap ibu
Chandra yang tiba-tiba masuk ruangan.
“Ya
itu lah Mah, orang Indonesia, kalo disuruh jaga budaya nanti-nanti, begitu
diklaim negara lain baru ribut, Indonesia rusak yang disalahin pemerintah,
apalagi anak muda, sukanya yang kebarat-baratan.” kesal Chandra yang turut
menyalahkan.
“Nak,
kamu ini belum genap 20 tahun, gak apa-apa salah sedikit. Toh, kamu juga masih termasuk anak muda Indonesia. Saran mama, sih kamu ambil cuti. Liburan sana, capek
mama liat kamu marah-marah terus. Ditambah ada di Jakarta, tambah badmood kamu nanti.” Jelas Bu Elena
panjang lebar dan langsung meninggalkan ruangan.
Kini
Chandra sudah berada di atas kasur yang empuk dan menyalakan TV. Sedang asyik
menonton TV ada pesan masuk ke ponselnya. Bagas. Teman SMA Chandra yang masih
akrab dengannya mengirim pesan melalui grup SMA. Chandra yang biasanya acuh tak
acuh sekarang membuka ponselnya dan mulai membaca pesan dari Bagas.
“JOIN US! BERGABUNG BERSAMA KAMI
MENJADI GURU RELAWAN DI NUSA TENGGARA. DO SOMETHING TODAY THAT YOUR FUTURE SELF
WILL THANK YOU FOR” *syarat dan ketentuan berlaku
Mata
Chandra menyipit dan dahinya berkerut. Tumben Bagas yang notabennya anak cuek
dengan hal sekitar sekarang bergelut di dunia seperti itu. Baik juga, sih. Saat menutupnya ponselnya karena
merasa tidak tertarik mengikuti hal tersebut. Chandra kembali menonton TV.
Lama-lama matanya terasa berat dan uap dari mulutnya mulai keluar. Pulas sudah
seorang Chandra di depan TV yang menyala.
***
Suasana
hati Chandra entah mengapa sangat berbunga-bunga hari ini. Padahal tidak ada
hal baik yang terjadi. Chandra menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang,
lengang sekali jalan pagi ini. Ini yang Chandra suka, Jakarta tanpa macet tanpa
asap tanpa hiruk pikuk. Chandra menikmati perjalanan ke kantor. Sesampainya di
kantor ternyata sudah banyak orang.
“Chandra
sudah datang to, tumben pagi.” ucap laki-laki bertubuh gagah setengah baya.
Yang tentu saja teman kantor Chandra.
Hari
baik Chandra tidak berlangsung lama. Pekerjaannya kacau balau. Kemarahan
senior-senior Chandra terhadapnya tak henti-hentinya dilontarkan. Chandra
paling benci dengan hal ini, masalah pribadi akan dicampur adukkan dengan
masalah Chandra kemarin. Kebiasaan.
“Mundur
saja, biar saya yang gantikan.” bisik salah satu senior Chandra yang bertemu
tadi pagi.
“Arghhhhh,”
Chandra frustasi. Ia pergi keluar dan pergi membeli beberapa makanan yang
mungkin akan mengembalikan mood-nya
saat ini. Di seberang jalan sana ada seorang perempuan kecil yang berjualan kue
tradisional. Panas terik tak menghalanginya berjualan.
“Beli
apa kak?” ujar anak kecil si penjual.
“Beli
klepon sama nasi pecel dek, makan
sini,” ujar Chandra, dengan lekas anak tersebut menyiapkan pesanan dan dengan
lekas pula pesanan tersaji, “Adek gak sekolah? Kok malah jualan?” tanya
Chandra.
“Hehe,
iya, saya cuma sama mbah di rumah.
Doain ya kak, jualannya laku biar Isya bisa sekolah.” Senyum anak itu
mengingatkan kepada Chandra kecil yang dahulu juga semangat untuk sekolah.
***
“Eh,
Gas, lo masih buka pendaftaran buat guru di Nusa Tenggara?” telepon Chandra
kepada orang yang di seberang sana.
“Masih
nih, lo mau ikut?”
“I..iya.”
“Tumben,
lusa technical meeting di Gedung
Sriwijaya ya, jangan lupa.” Telepon langsung ditutup oleh Bagas.
Chandra
memutuskan ini karena memang ingin membantu adik-adik yang ada disana. Kejadian
anak penjual kue mengingatkan Chandra akan bagaimana rendahnya tingkat
pendidikan di Indonesia karena masalah ekonomi.
Hari
ini Chandra akan technical meeting di
tempat yang Bagas bicarakan. Sesampainya disana, Chandra terkejut dengan
dekorasi kali ini. Benar, nuansa Indonesia banget. Gedung tersebut dihias
dengan lukisan dari berbagai daerah, makanan daerah yang terkenal hingga
mancanegara, dan setiap tamu diberi sarung khas Pulau Dewata. Chandra
disadarkan bagaimana beragamnya budaya yang ada di Indonesia.
“Chandra,
lo mau nampilin apa hari ini?” tanya Bagas yang tiba-tiba datang.
“Nampilin
apaan?” Chandra berkerut kebingungan dengan apa yang dikatakan temannya yang
satu ini.
“Setiap
relawan nanti bakal ngajarin anak-anak disana nyanyi, baca, tulis. Hari ini kan
latihannya juga, emang gue belum bilang ke lo ya?” Bagas menggaruk tengkuknya
ikut bingung juga.
“Yaudahlah
santai,” ucap Chandra sedikit ragu.
Giliran
Chandra maju ke depan panggung, sebenarnya ia tak begitu mengerti apa yang akan
ditampilkan. Hanya bermodal tekad yang yang kuat Chandra seperti bersikap biasa
saja. Sampai di depan panggung, bukan sorot mata yang diinginkan Chandra
bermunculan, semua orang berbisik tentangnya. Chandra tetap melanjutkan
keberaniannya di panggung tersebut.
“Saya
akan menyanyikan lagu Anging Mamiri.” Selesai mengucapkan kata tersebut, ia
memulai lagu dan diakhiri dengan indah. Namun, sedikit yang memberi apresiasi
padanya. Ketika turun panggung, ada seorang perempuan yang juga bersiap untuk
menampilkan hal terbaiknya, itu terlihat dengan angklung yang dibawa perempuan
itu.
“Main
angklung?” tanya Chandra gugup dan penasaran.
“Eh,
iyaa, hehe. Tadi suaranya bagus.” Kata perempuan itu sambil tersenyum. Manis
sekali, itu pikir Chandra.
“Terima
kasih. Oh, saya Chandra Nagara Situmpang, bisa dipanggil Chandra,” ucapnya
mengawali perkenalan.
“Wah,
orang batak ya, kak? Saya Anindya Pranungtyas, 17 tahun.”
“Iya,
itu namanya Tarombo kalau di Batak. Saya 19 tahun-..” belum selesai bicara, perempuan
itu sudah dipanggil untuk maju ke depan. Kini Chandra sendiri.
Alunan
musik yang dimainkan oleh Anin lebih dari sekadar satu angklung. Chandra yang
menikmati alunan lagu, terbawa aliran musik dan menggumam menyanyikan sebuah
lagu yang cocok dengan nada yang dimainkan Anin. Selesai memainkan angklung,
sorak sorai memenuhi gedung dengan sejuta budaya di dalamnya, seakan semuanya
hidup karena penampilan dari Anin. Setelah itu, Anin resmi menjadi guru lagu di
Nusa Tenggara nanti.
“Kak,
kok mau jadi relawan kenapa?” tanya Anin yang duduk di sebelahnya selesai acara
technical meeting tadi.
“Banyak
anak-anak Indonesia yang butuh ilmu. Sebenarnya mereka ingin, tetapi kendala
ekonomi mereka memaksa buat gak sekolah. Kalo kamu apa?” Chandra berucap dan
dilanjutkan tarikan napas Anin.
“Indonesia
itu terbentuk dari sejarah. Sekarang ini kita sedang mengulang sejarah yang
pernah terjadi, krisis identitas dimana-mana. Banyak yang mudah diadu domba
karena beda pandangan. Jika dahulu kita dijajah, diadu domba oleh bangsa barat.
Rasanya sekarang kita dijajah oleh bangsa kita sendiri. Ambisi buat jadi
relawan itu bukan hal yang mudah, tapi Anin cuma pengen didik adek-adek Anin di
luar sana agar nantinya jangan mengulang sejarah yang terjadi saat ini.” Jelas
Anin panjang lebar mengungkapkan opininya. Masuk akal memang.
***
Angin
pagi di NTT terasa masih sangat alami. Burung berkicauan, suara lesung dan kuda
yang betabrakan, tetapi mengasilkan karya seni yang patut sekali didengar.
Chandra bangun dari posko “district 9”
dengan semangat menikmati hari ini. Chandra berjalan ringan dengan seorang yang
kini menjadi teman. Tepat, Anindya. Mereka mengunjungi anak-anak yang sedang
bermain di pelataran depan dan ikut bermain bersama. Tak lama setelah itu
mereka bersiap untuk mengajar anak-anak di tanah NTT ini. Hari ini jadwal
menari dan menyanyi sebagai pembukaan dan akan berlanjut selama satu bulan ke
depan dengan kegiatan yang menarik.
Chandra
dibuat terkesima dengan tarian NTT yang sama sekali belum pernah ia
melihatnya. Sungguh mahakarya yang indah
dari Tuhan. Tidak hanya relawan yang mengajar. Namun, mereka, para relawan juga
diajarka budaya NTT oleh kepala suku setempat. Banyak ilmu yang Chandra
dapatkan dari apa yang disampaikan. Seperti orang NTT itu menghormati kuda
sehingga banyak sekali kuda disana, tarian-tari dan maknanya, pakaian yang
mereka pakai, hingga cara melamar kekasih dengan sejumlah syarat yang berat.
Pernah orang setempat membeli 9 kuda dan berunding 3 hari 3 malam hanya untuk
melamar sang pujaan hati.
Ini
bukan soal uang, tetapi cara menghargai budaya dan sesama manusia. Kepala suku
bilang bahwa budaya adalah kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Indonesia
memiliki beragam budaya berarti memiliki berbeda-beda kebiasaan. Setidaknya itu
yang Chandra tangkap. Jika kamu mengerti akan kebiasaanmu, maka tidak seorang
pun akan mengubahmu.
***
Kini
Chandra kembali dihadapan Mahkamah Internasional. Memperjuangkan apa yang
menjadi milik darah dagingnya. Chandra tidak ingin mengulang sejarah seperti
kata Anin. Memperjuangkan kebiasaan yang sulit ditinggalkan seperti kata kepala
suku. Ya, Indonesia memiliki kebudayaan mempertahankan tanah airnya hingga
titik darah penghabisan. Chandra ingin mempertahankan kebiasaan itu,
menyingkirkan orang-orang yang berani mengganggu.
“Semangat
Chandra, jangan takut. Kamu pasti bisa.” Anin berkata sebelum Chandara pergi
meninggalkan tanah Indonesia.
“Aku
tidak akan kalah kali ini, cuz I know how
to beat them.” Ucap Chandra dengan smirk
di bibirnya.
Cerpen karya Allika Estri di atas
sangat menarik, bukan? Setelah membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom
komentar, ya! Terima kasih sudah berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di
postingan selanjutnya, stay tuned!
—Sibema 33
Indonesian Habit-Allika Estri (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Reviewed by G-MAGZ
on
Januari 19, 2019
Rating:
Tidak ada komentar