Orang Kota-Iqbal Fatkhurohman (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)


Halo semua, bertemu lagi di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya, kita sudah membagikan salah satu karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini, kita akan membagikan karya dari peserta lain yang tentunya tidak kalah menarik. Nah, berikut ini merupakan karya dari  Iqbal Fatkhurohman kelas XI IPA 2. Jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya menarik untuk diikuti. 



—∑βγ

Orang Kota


Aku adalah seorang petani miskin yang tinggal di sebuah desa yang tak ubahnya diriku, miskin. Namun untungnya almarhum bapak pernah menyekolahkanku walaupun hanya sampai kelas tiga. Aku hanya bisa membaca dan menulis serta sedikit berhitung. Aku hidup sendirian di rumah yang aku tempati kini. Aku bahkan belum pernah melihat langsung ibuku.

*

Suatu cerita ini bermula sekitar tiga bulan lalu. Saat itu ada seseorang dari kota yang entah aku lupa nama kotanya datang ke desaku. Desaku sendiri merupakan desa yang miskin secara finansial, desa yang mungkin terisolasi, masyarakatnya sebagian besar bodoh, dan masih banyak lagi kekurangannya. Lagi pula hanya ada satu akses ke desaku. Itu pun jalannya belum diaspal dan harus melewati ladang-ladang yang sepi sekali.

Sejujurnya aku sedikit terkejut dengan kedatangan orang kota itu. Hal ini karena hanya ada segelintir orang kota yang mau datang ke desaku. Kebanyakan dari mereka adalah tenaga medis dari Puskesmas dan terkadang petugas PDAM. Namun yang lebih membuatku terkejut sore itu Pak Kades datang ke rumahku bersama seseorang yang belum pernah aku temui sebelumnya. Aku persilakan mereka masuk.
               
Setelah mereka masuk barulah aku tahu bahwa orang asing itu merupakan orang dari kota tersebut yang notabene adalah seorang kuliahan. Rumahku pada sore itu menjadi tempat berkumpulnya tiga orang: dua orang berpendidikan yaitu Pak Kades dan orang kota itu serta satu orang dungu yaitu aku. Aku mengeluarkan teh hangat dan setandan pisang karena hanya itu yang aku punya. Aku lalu masuk lagi mengambil singkong rebus yang aku beli setelah pulang dari sawah.
"Mboten sah repot-repot mas (tidak usah repot-repot mas)," kata Pak Kades seketika.
"Nggih mboten Pak (ya tidak Pak)," kataku menimpali.
"Dados ngeten mas (jadi begini mas)," kata Pak Kades lagi. "Niki mas Anjas Budiman rawuh ngriki ajeng nindakaken penelitian supados saged nyusun laporan babagan kesenian (inu mas Anjas Budiman datang kemari bertujuan untuk melakukan penelitian supaya bisa menyusun laporan tentang kesenian)," Pak Kades melanjutkan.

Memang benar, di desaku ada kelompok kesenian daerah Reog Ponorogo. Aku sebagai pemuda desa juga ikut serta dalam kelompok itu. Bahkan aku menjadi salah seorangpembarong. Jadi sepertinya Pak Kadeslah yang menyuruh orang kota itu datang kepada pelaku utama kesenian Reog itu, yaitu aku.

"Nggih pun mas dingapunten kula pamit rumiyin. Salajengipun kula pasrahke panjenengan (ya sudah mas mohon maaf saya pamit dulu. Selanjutnya saya pasrahkan kepada Anda)," kata Pak Kades setelah menghabiskan teh yang aku suguhkan.

Setelah bersalaman, Pak Kades keluar rumah dan aku mengikutinya. Dengan susah payah Pak Kades berusaha menghidupkan mesin motor Honda Winnya. Akhirnya mesin itu hidup juga. Setelah mengucap salam Pak Kades langsung memutar gas motor berplat merah itu. Debu dari tanah yang beterbangan mengantarku masuk lagi ke rumah. Orang kota itu, yang selanjutnya akan aku panggil Anjas, sedang menikmati singkong rebus yang sudah agak dingin itu.

"Singkongnya enak, Mas," kata Anjas.
"Maaf itu sudah agak dingin," kataku sedikit gugup.
"Maaf mas, mungkin aku sedikit ngerepotin di sini. Rencananya aku di sini sekitar satu setengah bulan. Itu waktu yang diberikan dosenku untuk melakukan penelitian dan membuat laporan," kata Anjas tiba-tiba.

"Oh ndak apa apa mas. Saya malah seneng ada temennya di rumah," jawabku dengan spontan. Setelah itu aku menyimpulkan bahwa Anjas adalah orang yang ramah dan sopan, walaupun nanti Anda akan tahu sisi lain darinya. Sikapnya sama dengan apa yang digambarkan wajahnya: sebaris senyum yang selalu terlukis di bibirnya, mata yang berbinar, dan raut muka ceria.

*

Ternyata Anjas tidak seperti orang kota kebanyakan. Ia orang yang sederhana, tidak pernah mengeluh ataupun memrotes apapun, seperti makanan setiap hari, MCK (Mandi Cuci Kakus), sinyal, dan lain-lain. Anjas juga selalu mengikuti aku saat aku latihan reog. Sepertinya, ia memang sangat tertarik dengan kesenian yang satu itu. Anjas mencatat apapun yang dilihatnya saat kami latihan reog dengan antusias.

Pada suatu malam, sepulang Yasinan rutin malam Jumat, tiba-tiba Anjas bertanya kepadaku,
"Mas, sebenernya pemain Reog Ponorogo itu punya cekelan nggak sih?" tanyanya kepadaku. Sungguh pertanyaan ini tidak pernah aku duga akan terlontar dari mulutnya.
"Cekelan kayak makhluk halus gitu?" aku menimpali.
"Iya mas, soalnya kan Dadak Merak(topeng reog) itu beratnya sampai 50 kilogram bahkan ada yang lebih. Udah gitu kok masnya bisa ngangkat gitu, digigit lagi. Belum itu saat atraksi yang kayak kayang, muter-muter, terus ada orang yang naik juga kan rasanya nggak mungkin kalau nggak punya cekelan," lanjut Anjas.
"Ya enggak lah," jawabku
"Kalau ritual-ritual gitu Mas? Maksudnya ritual minta diberi kekuatan gitu? Enggak ada ya?" tanya Anjas masih penasaran.
"Enggak ada lah, semua itu murni dari pemainnya. Ya kami pembarong bisa kayak gitu nggak gampang juga. Ada latihannya," aku makin semangat menjawab.
"Ada latihannya Mas?" kali ini Anjas sedikit bingung.
"Ya, membarong itu butuh latihan. Latihannya juga nggak gampang dan nggak mungkin langsung jadi sebulan dua bulan," jawabku sambil memperbaiki posisi dudukku.
"Latihannya emang gimana Mas?" tanya Anjas makin penasaran.
"Yang paling penting itu latihan fisik, kayak push up, sit up gitu. Ada juga latihan kerekan, jadi ada kayak katrol gitu satu ujungnya dikasih pemberat satunya lagi kayu yang posisinya mendatar. Terus kayunya digigit pemberatnya ditarik," jawabku lagi.
"Lha itu latihannya berapa lama Mas?" tanyanya sambil mengeluarkan sebuah buku kecil dan pulpen.
"Sekitar empat bulan itu baru bisa nyeimbangin Dadak Meraknya, kalau untuk atraksinya itu bisa lama lagi. Tapi kalau memang diniati dari hati, insyaa alloh bisa dimudahkan juga," jawabku sedikit menggurui.
"Tapi Mas, aku kok nggak pernah lihat Masnya latihan yang kayak gitu selama aku disini?" tanya Anjas masih penasaran
"Itu latihan buat pembarong pemula. Aku dulu awalnya juga latihan gitu, tapi sekarang latihannya sudah pakai Dadak Merak yang asli. Aku latihan kayak gitu sampai sepuluh bulan baru bisa pakai Dadak Merak asli. Itu saja baru bisa tarian yang biasa, yang standar," jawabku lagi.
"Oalah gitu to Mas. Orang-orang di kampus menganggap kalau pemain Reog itu pasti punya cekelan, kayak makhluk halus gitu. Selain itu juga pasti ada ritual-ritualnya agar bisa kuat. Aku sebenarnya nggak begitu percaya Mas. Makanya aku ingin membuktikan kalau itu semua salah. Eh kok tau-tau ada kesempatan kayak gini dari dosenku, ya sudah sekalian," Anjas sedikit bercerita.
"Oh ya ya, intinya pembarong itu nggak ada cekelan-cekelan yang kayak makhluk halus sama nggak ada ritual-ritual biar kuat. Pembarong juga sholat kan? Kami juga takut jadi musyrik," jawabku sambil sedikit terkekeh. Anjas juga terlihat sedikit tertawa.

Malam semakin larut dan dingin. Angin berhembus membelai jiwa-jiwa yang bahagia maupun sedih. Sinar bulan terhalang pekatnya mendung. Tak terasa rintik air jatuh perlahan. Lama kelamaan makin banyak dan makin cepat. Sesekali kilat menyambar dan guntur menggelegar menunjukkan sebuah kuasa. Kuasa Alloh atas alam semesta.
*
Aku dan Anjas kini seperti sepasang kembar yang tak bisa dipisahkan. Kemanapun aku pergi, Anjas selalu ikut. Mulai dari pagi hari hingga sore hari, ia jarang terlihat jauh dariku. Sesekali ia tak terlihat biasanya sedang menuruti panggilan alam, begitupun sebaliknya. Setelah itu, kami bersama lagi dalam melewati hari-hari yang tak menentu.

Pagi itu pagi yang cerah. Tak tampak awan sedikitpun menggantung di langit. Hari yang baik, aku rasa. Aku dan Anjas besiap untuk pergi ke toko pertanian untuk membeli pupuk. Kemarin, Anjas berkata bahwa ia akan mengantarku. Aku menurut saja. Sesekali berjalan-jalan sambil ada temannya.

Kami sudah siap. Anjas sedang memanasi  sepeda motornya. Honda GL PRO yang masih terlihat baru itu telah siap mengantarkan kami. Kami memulai perjalanan. Jalan yang kami lewati adalah jalan tanah yang belum tersentuh aspal. Roda yang berputar menerbangkan debu hingga seperti asap.

Semilir angin pagi itu menyertai kami melewati hamparan sawah yang hampir menguning. Disusul perkebunan jagung yang amat luas dan sepi. Kata bapak dahulu, kebun yang luasnya lebih dari lapangan sepak bola ini milik suatu perusahaan. Perkebunan ini sepi, hanya ada pekerja pada pagi hari sampai dzuhur. Setelah dzuhur, sepi lagi. Lalu kami melewati jembatan gantung yang baru selesai diperbaiki sebelum Anjas datang.

Kami sudah sampai di desa sebelah. Kami sudah setengah perjalanan. Tiba-tiba motor yang kami kendarai mengalami sedikit masalah. Motornya seperti tersendat-sendat. Kami turun untuk mengecek apa yang terjadi. Kata Anjas, bensinnya habis. Padahal di daerah ini tidak ada penjual bensin. Terpaksa kami mendorong motor sampai desa berikutnya.

Setelah bertemu penjual bensin, kami berhenti. Anjas membeli langsung empat liter. Katanya untuk persediaan besok. Hari sudah mulai panas. Kami tetap melanjutkan perjalanan. Kami tiba di Pasar Muktijaya, tempat yang kami tuju. Anjas berkata bahwa ia ingin jalan-jalan dulu. Ya sudah, kami berjalan-jalan dulu. Lalu kami berhenti di tukang dawet.

Setelah puas dengan dawet, kami menuju toko pertanian. Jaraknya tidak terlalu jauh dari lapak si penjual dawet. Setelah sampai, aku masuk dan langsung membeli sekarung besar pupuk. Harganya Rp. 1.500,-. Harga yang cukup mahal waktu itu. Saat kami hendak pulang, adzan berkumandang. Itu tandanya sudah pukul setengah dua. Waktu terasa begitu cepat.

Kami memutuskan sholat dulu baru pulang. Kami sholat di masjid dekat pasar. Setelah selesai kami pulang. Kepulangan kami diiringi awan yang mulai menghitam. Saat sampai di tempat kami membeli bensin, gerimis mulai turun. Anjas mulai mempercepat motornya. Lama kelamaan butiran air yang jatuh makin besar. Jalan yang kami lalui juga sudah becek di sana sini.

            Saat kami melewati perkebunan jagung, terlihat ada dua orang yang sedang berkelahi. Kami turun dari motor untuk melerai keduanya. Setelah mereka terpisah, mereka justru tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang ada di pikiran mereka, salah seorang yang berjaket kulit memukul Anjas dengan keras hingga jatuh tersungkur. Lalu seorang lagi yang memakai topi melingkarkan tangannya di leherku. Aku melihat pupuk yang aku beli jatuh dari motor saat Anjas mencoba berdiri.

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat aku meronta, bekapannya semakin kuat.  Aku kira Anjas akan terus dipukuli. Namun ketika Anjas berdiri, ia nampak percaya diri bisa mengalahkan penjahat-penjahat itu. Lalu ia memeragakan semacam tarian yang aneh. Setelah itu penjahat berjaket kulit menyerang Anjas dengan pukulan yang mengarah ke dada. Anjas menangkis pukukan itu dan melayangkan tendangan ke perut penjahat itu. Penjahat itu tak bisa mengelak dan jatuh terkena tendangan.

Gerimis telah berubah menjadi hujan. Penjahat itu bangkit lagi, satu pukulan diarahkan ke muka tetapi berhasil ditangkis. Anjas membalas dengan satu tendangan ke perut. Penjahat itu bisa mengelak. Dengan tiba-tiba penjahat itu menyerang dengan pukulan yang diarahkan ke perut disusul tendangan ke dada. Anjas dapat menangkis pukulannya, tetapi tendangannya berhasil mengenai dadanya. Anjas nampak kesakitan memegang dadanya. Penjahat itu terlihat tersenyum puas.

Penjahat tak berhati itu kembali menyerang Anjas dengan tendangan. Anjas belum berdiri tegak. Namun dengan tangkas Anjas dapat menangkap kaki penjahat itu lalu menendang kaki yang satunya dengan keras sehingga penjahat itu terjatuh terlentang. Penjahat itu jatuh berdebam di tanah. Anjas lalu menendang perut sebelah kiri penjahat itu saat ia hendak berdiri. Penjahat berjaket kulit itu terlihat sangat kesakitan dan tersungkur lagi. Terlihat tangannya melambai pada ku, atau pada temannya yang membekapku.

Penjahat bertopi itu melepaskan bekapannya. Namun seketika punggungku seperti dihantam benda yang sangat berat sehingga aku tersungkur di tanah. Aku terbatuk-batuk karena hantaman tadi hingga kepalaku pusing. Aku sempat melihat kedua penjahat itu pergi menggunakan sepeda motor yang disembunyikan di antara tanaman jagung. Asap sepeda motor mereka membuat dadaku sakit.

Hujan sangat deras sore itu. Anjas terlihat sedang menghidupkan motornya. Lalu ia membantuku duduk. Aku melihat darah keluar dari hidungnya dan ujung mulutnya. Darah itu pasti akibat pukulan keras sebelum ia berkelahi. Kami basah kuyup dan kesakitan. Aku sudah bisa berdiri walaupun masih agak pusing. Anjas sudah berada di atas sepeda motornya. Aku menaikkan pupuk yang aku beli dan kami mulai berjalan pulang.

Sesampainya di rumah, kami kedinginan dan menggigil.  Pelipis Anjas lebam karena dihantam tadi. Rasa sakit di punggungku menjalar ke kepalaku yang masih pusing. Baju yang kami kenakan juga sudah sangat kotor. Namun aku masih bersyukur, Anjas tidak apa-apa dan pupuk yang aku beli juga tidak rusak. Kami bergiliran mandi setelah itu.

Malam harinya, hujan masih turun walaupun tidak sederas tadi sore. Kami sedang duduk di amben(semacam tempat tidur yang tidak ada kasurnya). Ada juga teh panas dan singkong goreng. Rasa sakit di punggungku berubah menjadi nyeri. Kepalaku juga masih terasa sedikit pusing. Namun berbeda dengan Anjas yang terlihat seperti tidak merasakan apa-apa. Aku heran dengannya, lalu aku bertanya,

"Tadi itu rampok, Mas?" tanya Anjas.
"Wah ndak tahu, mungkin bisa saja. Wong di kebun itu sepi, kalau mau ngerampok juga bisa lancar di situ. Kamu kok pinter bela diri ternyata," jawabku.
"Aku ikut silat, Mas," jawabnya singkat.
*
Hari-hari telah aku dan Anjas lewati bersama. Banyak kenangan yang terukir indah bersamanya. Sore itu, Anjas harus pulang ke kotanya untuk menyelesaikan seluruh laporan yang ia peroleh di desa ini bersamaku. Ia pamit kepadaku. Tak terasa air mata meleleh ke pipiku. Entah mengapa aku merasakan sedih seperti akan kehilangannya untuk selama-lamanya.
Ia memberiku sebuah kenang-kenangan berupa sebuah pajangan dari logam. Ia berkata padaku bahwa suatu saat ia akan kembali tetapi tidak tahu kapan itu dan jangan ditunggu. Ia menghidupkan motornya, mengucap salam, dan mulai melaju. Aku melambaikan tangan sampai ia jauh sekali.

Malam harinya aku tidak bisa tidur. Entah mengapa aku tidak tahu. Mungkin karena aku terlalu bersedih. Aku berusaha memejamkan mataku tetapi tetap tidak bisa. Akhirnya aku bisa tidur. Namun rasanya baru sebentar saja sudah subuh. Aku pergi ke masjid lalu segera pulang karena gerimis sudah turun. Sesampainya di rumah, hujan turun lagi.
*
Matahari sudah naik, hujan sudah pergi. Aku akan pergi ke sawahku. Aku melewati jalan yang biasa kulalui. Terlihat ada buruh perkebunan yang datang ke rumah Pak Kades. Ada empat orang. Aku mendatangi mereka, ada juga beberapa warga di belakangku. Aku bertanya apa yang terjadi. Mereka berkata bahwa di kebun jagung ada karung besar yang tidak tahu milik siapa. Maka Pak Kades langsung menuju ke kebun jagung, banyak yang mengikuti termasuk aku.

Karung itu besar, cukup untuk memasukkan seekor kambing. Pak Kades memindah karung itu ke pinggir jalan lalu membukanya. Isinya manusia, ya manusia yang kepalanya telah ditutup dengan plastik tebal. Kami bergidik ngeri. Sepertinya ia dirampok, atau berkelahi lalu ditusuk. Ada beberapa bekas tusukan di perutnya. Entah orang keji macam apa yang melakukan ini. Pak Kades memerintahkan buruh kebun jagung untuk membuka plastik di kepala mayat itu.

Aku seperti disambar petir ketika melihat kepala mayat itu. Mayat itu mayat Anjas. Peristiwa saat membeli pupuk itu terulang lagi. Nampaknya dia dirampok, mencoba melawan tetapi lawan bersenjata dan dia ditikam berkali-kali. Sepeda motornya juga tidak ada. Jelas sekali perampoknya lebih dari satu orang. Aku berlutut dan menangis. Menangis keras sekali.

Cerpen karya Iqbal Fatkhurohman di atas sangat menarik, bukan? Setelah membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom komentar, ya! Terima kasih sudah berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di postingan selanjutnya, stay tuned! 
Sibema 33

Orang Kota-Iqbal Fatkhurohman (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018) Orang Kota-Iqbal Fatkhurohman (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018) Reviewed by G-MAGZ on Januari 19, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar

The Slider

slider