Rintihan Para Wayang-Nur Annisa (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Halo semua, bertemu lagi di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya,
kita sudah membagikan salah satu karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini,
kita akan membagikan karya dari peserta lain yang tentunya tidak kalah
menarik. Nah, berikut ini merupakan
karya dari Nur Annisa kelas X IPS 2. Jangan lupa tinggalkan
komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog kami karena kami akan
mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya menarik untuk
diikuti.
—∑βγ—
Rintihan Para Wayang
Apakah
ilusi tak mampu membuat manusia ingat kembali?
Yogyakarta,
2018
Aina yang sedari tadi fokus membaca buku tiba-tiba
mendongak ketika suara asing memenuhi telinganya. Kelas biasanya ramai dan dia
sudah hafal dengan warna suara teman-temannya. Namun saat ini, kelas seolah takluk
saja dengan suara itu. Suara anak laki-laki itu tampaknya mempunyai daya yang
kuat sehingga mudah mengubah atmosfer
kelas dengan sekejap. Anak itu berdiri di
depan kelas.”Hai guys, gue Ardo dari
Jakarta.”
Sedetik kemudian masih sama, semua orang bergeming.
Hingga Rimba—ketua kelas menyambar,”Jakarta?” lalu wajahnya berubah menjadi
sumringah, “kabar baik nih teman-teman,”
Roni yang sekomplotan dengan Rimba tampak mengangguk
mengiakan. Aina menatap tajam pada Rimba.
“Apa maksudmu
Rim?”
“Biar kita nggak ketinggalan zaman terus. Kampung
sebelah aja udah canggih, masa kita kalah sih. Kalau ada anak dari Jakarta, itu
berarti dia bisa dong bantu kita biar jadi lebih update!”Rimba setengah emosi
dengan Aina. Sesungguhnya dalam dua matanya, dendamnya meluap-luap. Aina segera
membuka buku tadi yang tak sengaja tertutup. Sebenarnya ia juga tak peduli
dengan anak baru itu. Menurutnya apa yang istimewa dari anak Jakarta? Aina juga
sedang tak mau perang dengan Rimba.
Hari ini terasa membosankan bagi Aina, dia ingin
segera pulang. Apalagi, semua temannya seperti mendewakan anak baru itu. Dalam
hati kecil Aina, dia takut bahwa hal itu akan terjadi dekat-dekat ini. Saat bel
pulang berdering, Aina lari terbirit-birit menuju rumahnya.
Sampai depan pagar, langkahnya semakin ia perlebar
supaya cepat sampai rumah. Tak lupa ia mengucap salam, seketika bapak dan
ibunya yang sedang berbincang menghentikan kegiatan mereka dan lanjut menyalami
tangan Aina.
“Ibu mau masak, makannya nanti ya Na,” Ibu Ratri
meninggalkan ruang tamu dengan segera.
“Pak, tadi ada anak baru dari Jakarta. Aina takut,”
ucap Aina dengan nada gemetar.
“Kenapa?” Pak Tyo menatap anaknya dengan penuh selidik.
Aina menghela napas pelan, “Kakek pernah bilang
sesuatu ‘kan Pak?”
“Tapi dia kan belum tentu jahat.” Ucap bapaknya
menenangkan.
Ketakutan Aina tak hanya berdasar pada ucapan kakeknya
pada waktu itu. Dia juga menyadari bahwa teman-temannya mulai memberontak
secara pelan-pelan.
***
Kampung Wayang, sesuai dengan namanya, kampung ini
dipenuhi dengan orang-orang yang berkutat akan hal pewayangan. Mulai dari
pengrajin, dalang, dan sebagainya. Semua warga di sini digerakkan untuk terus
melestarikan budaya khas jawa itu. Biasanya, warga akan berkumpul dua pekan
sekali untuk menonton pertunjukan wayang di balai desa, sampai riuh rendah.
Penonton membludak.
Anak-anak dan remaja diajarkan membuat wayang dan
mendalang saat Minggu pagi. Saking antusiasnya mereka, anak-anak biasa pulang
saat matahari hampir tenggelam. Warganya telah terbiasa akan siklus itu.
Hal itu membuat Aina kian sedih di kamarnya. Pasalnya,
keadaan yang sekarang telah berubah secara signifikan. Pertontonan wayang hanya
dilakukan sebulan sekali, penontonnya pun mungkin hanya belasan orang. Aina tak
pernah menjumpai teman-temannya saat pertunjukan itu. Dia merasa semakin takut,
apalagi sekarang ada anak baru dari luar kota.
Sama dengan dugaannya, saat ini mata Aina hanya
menangkap sepuluh orang sebagai penonton Pak Tyo yang sedang memainkan cerita
punokawan. Aina tahu dia harus segera bertindak, mengingat juga anak-anak dan
remaja di kampungnya sekarang cenderung menghabiskan hari Minggu mereka untuk bermain gawai saja.
Esoknya, ia
terbangun dengan tubuh yang sangat segar. Setelah mandi, dia
terkaget-kaget dengan seseorang yang duduk di tepi ranjangnya. Sebenarnya Aina
tak yakin, apakah itu manusia atau apa. Aina masih diam, dia gemetar ketakutan
sampai bulir keringatnya keluar.
Tiba-tiba sosok itu membalik badan dan tersenyum pada
Aina. “Hai Aina, aku Semar,” Aina ingat, tadi malam ayahnya mengisahkan punakawan.
Aina juga menyadari jika itu Semar, tubuhnya yang tambun dan matanya yang
menyipit membuat tokoh satu itu mudah Aina kenali.
Aina kemudian mengangguk takzim. “Kenapa?” Dia
bertanya demikian saat menyadari raut muka Semar berubah.
“Bantu aku Na,” jawab Semar yang membuat Aina semakin
penasaran.
“Bantu apa?”
“Jika manusia sudah melupakan aku dan anak-anakku maka
kami akan segera mati.” Muka Semar tambah kuyu.
“Ke mana anak-anakmu sekarang?”
Aina berhenti menunggu jawaban dari Semar saat
mendengar gelak tawa yang menggelegar. Mereka turut masuk ke kamar Aina.
Petruk, Gareng, dan Bagong menghentikan tawa mereka saat mengetahui air muka
Semar yang serius.
“Bagaimana bisa, aku yang hanya remaja membantu
kalian? Dengan cara apa?” Ultimatum Aina membuat keempat makhluk itu berpikir keras.
“Hah, aku tahu!” ujar Petruk. “Kamu harus jaga
teman-temanmu. Buatlah mereka suka pada kita dan wayang-wayang lainnya.
Kasihan, Na. Nasib wayang lain juga sudah sekarat.”
Aina masih agak bingung,”Lalu, bagaimana dengan
teman-teman yang sudah tidak mau? Aku juga sedih banyak temanku yang tak peduli
lagi dengan kalian,”
“Sebenarnya, kita ada misi utama ke sini, Na.” Bagong
menyambar.
“Oh ya, sesungguhnya kampungmu ini memang pernah kami
datangi dulu. Kami sudah meminta tolong pada para orangtua untuk terus
melestarikan kami. Namun akhir-akhir ini, banyak virus yang menyebabkan kami
lemah,” jelas Gareng.
“Kamu tahu Rimba ‘kan?” ucap Semar dengan nada serius.
Aina mengangguk. Mereka berlima terlibat percakapan
serius sebelum akhirnya merencanakan sesuatu. Semar, disusul dengan
anak-anaknya dan juga Aina segera keluar. Mereka berlima menuju rumah Rimba.
Aina melihat Rimba sedang memegang gawai dengan serius
di teras. Dia baru sadar, ternyata kedatangan para wayang membekukan waktu dan
juga manusia. Mereka berlima leluasa masuk ke rumah itu. Tiba-tiba suatu pendar
menyilaukan mata Aina, refleks kedua tangannya menutup rapat indra penglihatnya
itu. Sepersekian detik kemudian, Aina mundur sedikit dan membuka mata dengan
pelan.
Dia terkaget-kaget, sungguh apa yang baru saja
terjadi? Matanya mengedarkan pandang, mencari kelima makhluk itu. Apakah
ruangan itu hanya berisi dirinya?
Mulutnya tercekat untuk sekadar berteriak. Ruangan tadi sempurna berubah
menjadi ruangan serbaputih yang membuat dia tambah gusar. Alhasil, dia hanya
berputar-putar tanpa arah yang pasti.
“Aina, matikan hologram itu.” Suara anonim
menginterupsi gerakannya. Dia mengedarkan pandangan lagi. Nihil. Tak ada orang.
Dia memutuskan untuk tak gampang percaya lagi. Aina
berkeyakinan bahwa punakawan tadi hanya berbohong. Mana mungkin mereka bisa
datang ke masa sekarang ini? Dia harus tambah berhati-hati pada segala hal
mulai saat ini. Entah kenapa tubuhnya lelah sejak pendar itu mengenai dirinya.
Mungkinkah sinar tadi itu menyerap energi dan menyerap
kelima makhluk tadi? Sekarang, dia hanya bisa duduk tepekur dan membuang
jauh-jauh pikiran sempitnya. Namun tak ada salahnya juga dia mematikan hologram
itu. Remaja itu memikirkan banyak cara untuk bisa mematikan hologram yang masih
menyala dengan terang itu. Aina mencoba mendekat pada pendar itu, yang ia
ketahui, tenaganya semakin habis dan kesadarannya berangsur-angsur hilang.
***
Dia bangun dengan kesadaran penuh dalam kamar
tidurnya. Gadis itu hanya sedikit pusing dengan rentetan kejadian tadi yang menimpa dirinya. Aina
semakin kebingungan sekarang, tak ada orang yang bisa ia tanya-tanyai mengenai
hal itu. Dirinya hanya melihat sepucuk surat yang terlipat rapi di nakasnya.
Tertulis jelas Untuk: Aina di
sebelah kanan atas. Tangan Aina segera mengambil dan membuka surat itu.
Setelah membaca dan memahami surat itu, akhirnya Aina
sedikit paham. Punakawan telah diselamatkan oleh seseorang yang tak mereka
sebutkan namanya. Semar bercerita juga mengapa ada teknologi tingkat tinggi di
rumah Rimba. Dia menyadari juga kenapa selama ini Rimba dendam kepadanya.
Saat ini, Aina segera bergegas dari kamar dan berusaha
menjaga kebudayaannya, kali ini Rimba sudah kalah. Namun, teknologi masih terus
berkembang. Aina takut, teknologi mampu membuat manusia gila.
Yogyakarta, 2013
Dalam ruangan sempit yang disebut kamar itu, terbaring
lemah kakek Aina dengan dikelilingi Pak Tyo, Bu Ratri, dan Aina tentunya.
“Aina, jangan mudah terbawa oleh zaman. Suatu saat,
mungkin ada temanmu yang berusaha merongrong tradisi kita. Kamu harus kuat.
Jaga kebersihan hatimu, jangan sampai budaya kita hilang.” Kakek mengucapkan
itu sambil tersenyum hangat.
Aina kecil masih tak terlalu paham akan hal itu.
Sebelum dia bertanya lebih lanjut, kakeknya lebih dulu mengembuskan napas
terakhirnya.
Cerpen karya Nur Annisa di atas sangat menarik, bukan? Setelah
membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom komentar, ya! Terima kasih sudah
berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di postingan selanjutnya, stay
tuned!
—Sibema
33
Rintihan Para Wayang-Nur Annisa (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Reviewed by G-MAGZ
on
Januari 18, 2019
Rating:
Tidak ada komentar