Sanggar Wadon-Akrimna Binuril (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Halo semua, bertemu lagi
di blog Sibema!
Pada postingan sebelumnya, kita sudah membagikan salah satu
karya menarik dari peserta GSC 2018. Kali ini, kita akan membagikan karya dari
peserta lain yang tentunya tidak kalah menarik. Nah, berikut
ini merupakan karya dari Akrimna Binuril kelas XII IPA 3. Jangan lupa tinggalkan
komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog
kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya
menarik untuk diikuti.
—∑βγ—
Sanggar Wadon
Riuh tepuk tangan menggema mengakhiri acara sore itu. Semuanya
tampak tersenyum bahagia. Entah itu pemain atau penonton yang kebanyakan
ibu-ibu. Mereka berpelukan, saling menyelamati dan menyungging senyum termanis
masing-masing. Terlihat juga beberapa anak yang mulai berhamburan dari atas
panggung untuk memeluk ibu mereka. Akupun ikut tersenyum mengingat semua
perjuangku kini telah terbalas dengan apik.
Acara telah usai. Semua orang juga mulai tampak beranjak. Itu
berarti telah tiba waktuku untuk kembali ke belakang panggung. Mengenang setiap
momen indah yang terjadi hari ini dengan sepi. Tapi tak sampai dua langkah aku
berjalan, tanganku tertahan oleh seorang wanita. Ia memakai cadar untuk
menutupi sebagian wajahnya, tapi terlihat jelas senyuman yang ia sunggingkan
untukku.
Aku tak merasa aku mengenal dirinya. Aku juga ragu jika dulu aku pernah
memiliki seorang teman bercadar seperti dirinya. Tapi anehnya aku merasa telah
mengenal dirinya cukup lama. Rasa hangat dari telapak tangannya yang menembus
hingga kulitku terasa familiar. Terlebih sorot matanya yang menunjukkan rasa
bangga atas apa yang kulakukan menyakinkan diriku seolah-olah aku memang teman lamanya. Aku ingin menanyakan
siapa dirinya tapi dia lebih dulu mengambil suara.
"Ibu-ibu sekalian, tidakkah rasanya kita terlalu egois jika
membiarkan Bu Aisha mengenang momen ini sendirian?" Ia berucap dengan
lantang, membuat beberapa wanita yang telah berada di dekat pintu keluar
terhenti seketika menatap kami. Mereka kembali duduk entah karena dorongan apa.
Aku sendiri pun tak tau apa yang akan ia lakukan padaku. Ia tak
berucap apa-apa selagi menarik tanganku menuju panggung yang entah sejak kapan
telah tergelatak dua kursi dan satu meja kecil berisi sedikit sajian di sana. Dengan kurang ajarnya ia mendorong
diriku agar duduk pada salah satu kursi di sana lalu ia sendiri pergi ke
belakang entah untuk apa.
Tak lama kemudian aku tau apa maksudnya berjalan ke belakang
panggung sebab terlihat benda hitam di kedua tangannya. Dua buah mikrofon yang
mungkin akan ia gunakan beberapa saat lagi. Yang satu lagi sepertinya untukku,
benarkah? Kurasa benar, karena begitu ia duduk ia mengulurkan tangannya
memberikan salah satu pengeras suara itu padaku. Dan aku baru sadar, ia belum
mengenalkan dirinya padaku. Mungkin akan ia lakukan setelah ini. Tebakku.
Lagi-lagi kubiarkan gadis itu mengawali pembicaraan kami. Kurasa
memang benar ia berniat mengambil alih acara kali ini dengan menjadi pemandu, ia
sebagai pewawancara dan jelas saja aku yang akan menjadi narasumbernya. Dan
jujur saja ia sukses membuat diriku penasaran akan segala tingkahnya.
"Untuk semuanya, mari kita mengenal lebih dalam sosok Ibu
Aisha, agar kita tau bagaimana perasaanya kali ini. Sebab, kitajuga perlu
bertukar kebahagiaan dengannya. Ibu Aisha mau kan?" Ia memang bertanya
tapi dari nadanya justru terasa jika ia sedikit memaksakan kehemdaknya bahaimanapun
itu caranya. Seakan aku tak perlu memberikan perijinan padanya untuk melakukan
hal itu.
Akan tetapi, sebenarnya bisa saja aku tolak tindakan
lancang itu. Terlebih ini adalah tempat milikku. Kalaupun aku tak suka dan
mengusirnya itu akan sah-sah saja. Tapi aku rasa aku tak bisa melakukannya
sebab aku sendiri juga menginginkan hal itu. Ada secuil dalam hatiku yang
mengatakan agar aku menceritakan semua yang telah terjadi padaku. Ada sebagian
dariku yang ingin aku berbagi kisah kasih dengan mereka. Oleh karena itu aku
mengangguk mengizinkan. Alih-alih menolaknya mentah-mentah.
Pertanyaan awal masih sederhana seperti kapan sanggar ini didirikan
dan aku tersenyum seraya menjawabnya. Ada secuil kebanggaan dalam diriku.
Namun, mataku tak mampu berbohong mengingat apa yang harus kulalui untuk sampai
pada titik itu. Setetes air berlinang begitu saja di pipiku. Segera kuusap agar
tak ada yang menyadari tapi sepertinya gagal karena tatapan perempuan di hadapanku
mengatakan segalanya.
"Dua belas
tahun yang lalu, cukup lama ternyata. Haha."
Gadis itu lalu tersenyum. Aku yakin akan itu sekalipun sebagian
wajahnya tertutupi selembar kain tipis. Aku bisa merasakan hal itu lagi,
ketulusan dari senyuman yang ia umbar. Dan entah kenapa dengan fakta ini aku
bisa memastikan jika perempuan yang duduk di sampingku ini adalah salah satu
teman lamaku. Apakah Zara? Gadis yang memiliki ibu yang juga menggunakan cadar
dan dengan itu barangkali ia memilih jalan yang sama. Kemungkinan ini bisa saja
benar, hanya saja Zara temanku adalah gadis super tomboy sedangkan yang kini berada
di hadapanku adalah wanita yang anggun.
Jadi, aku sedikit meragukan jika ia memanglah Zara. Atau jikapun itu benad seharusnya
aku mengenali gerak geriknya. Ataukah dia Zura? Saudara kembar Zara yang
sifatnya lebih kalem dibanding sahabatku itu.
Benar dugaanku sebelumnya jika ia tau bahwa aku menangis barusan.
Ia langsung menanyaiku, "Kenapa Bu Aisha menangis?" Lalu ia meminta
untuk menceritakan apa yang terjadi sebelum itu. Ada secuil keraguan yang
tiba-tiba muncul ketika aku berniat untuk menceritakannya, tapi lagi-lagi ia
berhasil membujuk diriku. Kurasa dia memang memiliki aura yanh tak bisa dibantah
ataupun ditolak.
Kejadian itu terjadi sekitar tiga belas tahun yang lalu, setahun
setelah aku herhasil menamatkan pendidikan atasku. Sebuah perdebatan panjang
antara diriku dan ayahku atas pilihanku yang ingin melanjutkan sanggar yang
sebelumnya telah dirintis oleh almarhum ibuku.
Kukatakan padanya dengan mantap jika aku berkeinginan untuk
mewujudkan mimpi ibuku untuk mendirikan
sebuah sanggar tari.
"Aku ingin
melanjutkan mimpi ibu, Yah."
Aku mengatakannya dengan penuh harap berharap ia akan mendukungku
sepenuhnya mengingat bagaimana rasa cinta dan sayang ayah pada ibu. Tapi yang
aku dapat justru sebaliknya. Ayah menolaknya, menentang hal itu keras-keras tak
setuju dan aku menangis sejadi-jadinya tak menyangka dengan yang akan aku
dapat.
Ayah mengatakannya dengan sedikit emosi dan penuh penekanan.
"Ayah tak mau kau mengikuti jejak ibumu. Cari pekerjaan lain yang lebih
baik dibanding menjadi penari rendahan seperti
itu!"
Menurut ayah menjadi penari adalah sebuah profesi yang hina sebab
mempertontonkan lekuk tubuh di hadapan banyak orang dengan melenggak lenggok
lemah gemulai. Ia berpendapat jika islam melarang keras hal seperti itu.
Sekalipun hingga kini aku belum pernah menemukan ayat yang demikian. Tapi tetap
saja, ayah menentang keras usulanku. Ia bahkan tak menerima setiap penjelasan
yang akan aku lontarkan dan ia berniat mengakhiri perdebatan ini dengan
beranjak meninggalkan diriku di ruang keluarga sendirian. Tapi cepat-cepat aku berusaha
mencegahnya.
"Karena pemikiran yang seperti ayah itu, Indonesia akan
kehilangan budaya yang dimiliki. Satu persatu akan melayang, tanpa ada seorang
pun yang menjaganya. Karena pemikiran yang seperti ayah, Indonesia akan kehilangan
wajahnya. Tak ada lagi yang bisa dilihat dari Indonesia selain kebudayaannya. Dan
Indonesia tak akan memiliki apa-apa lagi! Karena pemikiran ayah yang seperti
itu, indonesia akan kehilangan jati dirinya!"
"Indonesia hanya akan menjadi negara entah berantah jika
kebudayaan menghilang, Ayah. Alam surga kepunyaan Indonesia tak bisa diharapkan
lagi ditengah rusaknya semesta seperti ini. Satu-satunya wajah Indonesia adalah
kebudayaan yang kita miliki, Yah. Tak bisakah Ayah melunak sedikit demi
kebanggaan yang kita miliki? Atau Ayah milih diam dan membiarkan satu persatu
harta Indonesia melayang begitu saja?"
"Apa benar
Ayah rela negera ini berakhir seperti itu?"
"Apa ayah
rela negera ini tak memiliki suatu kebanggaan?"
"APA BENAR
AYAH RELA?!"
Aku mengatakannya dengan bersungut-sungut menggebu seakan berusaha
meluapkan semua emosi yang ada. Tapi memang itu benar adanya. Aku menangis
sedih juga kecewa dengan apa yang terjadi. Marah juga kesal dengan pilihan yang
ayah berikan. Serta perasaan ikut tersakiti atas apa yang telah terjadi. Semuanya
bercampur menjadi satu hingga tangisanku tak kunjung berhenti ditambah irama
jantung yang berdetak kencang.
Aku masih sibuk mengusap kedua mataku berharap air mata itu segera
berhenti turun. Sedang ayah kembali duduk terdiam di kursi kebesarannya. Ia
termenung entah memikirkan apa yang baru saja aku katakan atau justri ia tengah
mempersiapkan segala perkataan yang akan dilontarkan untuk membalas diriku,
memberikan diriku argumen untuk menentangku. Dan sepertinya yang paling tepat
dan benar adalah pilihan yang kedua.
"Kau pikir ayah memintamu bukan tanpa alasan?" Ucap ayah
dengan lembut. Lalu ia menarik nafas dalam-dalam.
"Gara-gara hal ini ibumu jatuh sakit. Mimpi ini juga yang
selalu menjadi alasan di setiap tangisan malamnya. Karena hal ini pula ibumu
harus pergi untuk selamanya! Karena hal ini, lagi-lagi karena keinginan seperti
ini ayah harus kehilangan ibumu! DAN ITU SEMUA KARENA PEMIKIRAN BODOH SEPERTI
DIRIMU! Apakah kau tau itu?!"
Ya, ayah kembali menyalahkan keadaan ini atas kepergian ibu
beberapa tahun yang lalu. Ia masih berfikir jika dunia tari membuat ibu sakit
dan memenuhi setiap waktu milik ibu dengan penderitan yang akhirnya berujung
pada sebuah kematian. Ayah tak rela akan hal itu dan tak ingin suatu hal yang
sama terulang padaku. Aku menangis menyadari hal ini. Tapi aku juga tak ingin
berhenti di sini. Bahkan sebelum aku memulai sesuatu.
"Aisha tak
menyangka, jika ayah yang telah berpendidikan agama tinggi masih berfikiran
seperti ini."
Aku memang sayang pada ayah. Begitu pula dengannya yang keras akan
pilihannya. Namun, aku tetap kukuh mengatakan jika kematian ibu bukanlah karena
mimpi ini. Sebab itulah takdir yang harus ia jalani. Dan seharusnya ayah telah
merelakan kematian ibu lima belas tahun yang lalu. Kalaupun tekanan dan penderitaan
yang ibu terima memperparah sakit di jantungnya, mimpi ini tetaplah tidak salah.
Ibu telah melakukan hal benar demi negara ini. Ibu telah ikut berjuang hingga
titik darah penghabisannya demi rasa cintanya pada budaya negeri ini dan aku
ingin melanjutkan kisahnya.
"Perjuangan ibu tak boleh berhenti sampai sini, Yah. Aisha
harus melanjutkannya atau jika tidak itu akan sia-sia belaka."
Aku katakan kembali pada ayah untuk memikirkan apa yang
terbaik untuk dilakukan dan aku akan menerima dengan sepenuh hati apapun
pilihannya kala itu. Apapun. Apapun yang akan ia pilihkan untuk masa depanku. Kemudian ayah
kembali diam. Merenung dan memikirkan apa yang akan ia putuskan untuk kulakukan.
Sedangkan diriku bersiap dengan apa yang terjadi. Bersiap untuk segala hal
terburuk sekalipun.
"Nama sanggarnya cukup diskriminasi untuk gender,
kenapa?" Tanya perempuan itu lagi yang berhasil membuatku kembali pada kenyataan
yang ada setelah aku cukup lama berkelana pada kisah kuno mengenai bagaimana
yang harus kualami untuk mendapatkan izin itu.
Pertanyaan itu kujawab dengan tenang, tanpa ada sedu sedan yanh
hinggap seperti seblmumnya. Sebab sanggar ini memang dikhususkan dan hanya
untuk perempuan, tak seperti sanggar lainnya. Kali ini juga tak sepanjang
jawaban-jawaban sebelumnya. Lalu ia kembali berucap. Katanya itu akan menjadi
pertanyaan terakhir.
"Sinau budayamu nang kene. Lestarikke nang jobo. Tampilke nang
keluarga."
Ini adalah motto dari sanggar Wadon dan ia menanyakan arti dari kalimat itu.
Kujawab padanya jika itu adalah syarat yang ayah berikan
padaku atas izin yang ia berikan. Ayah
memang mengizinkanku untuk pendirian sanggar tapi tak berhenti sampai di situ
saja. Ia mengajukan syarat dan harus kupenuhi jika aku memang
bersungguh-sungguh. Setelah persyaratan itu kudengar aku langsung mengangguk
mengiyakan tanpa berfikir panjang.
"Itulah kenapa sanggar ini dikhususkan untuk
perempuan yang hanya berniat mempelajarinya saja tanpa niatan harus menampilkan
kebolehannya di muka umum."
Ia tersenyum entah dengan maksud apa. Kali ini sedikit aneh seakan
ia tengah malu-malu. Padahal sebelumnya ia berani-berani saja melakukan apapun
yanh ia inginkan. Karenanya aku yang berganti bertanya padanya. Dan ia
menjawabnya dengan anggukan mantap dan senyuman yang penuh mengembang.
"Ada yang
masih ditanyakan?"
Setelahnya ia bertanya padaku mengenai alasan dibalik
ketersedianku menerima syarat itu bahkan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
Dan aku dibuatnya tertawa kali ini.
Ia sungguh lucu. Ia kembali bertanya apakah aku bersedia menjawabnya dan kujawab
dengan anggukan mantap seperti yang ia lakukan sebelumnya.
"Itu karena seorang temanku, ah bukan, ia adalah saudariku
yang tak terhubung oleh darah. Aku melakukannya karena pemikirannya semasa
sekolah dan hal itu masih kuingat hingga kini."
Dulu, aku mengenal perempuan itu ketika aku masih berada di bangku
putih abu-abu. Ia adalah sahabat karibku yang selalu bersama di setiap waktu
seperti gula dan semut. Tak terpisahkan. Saat itu kami seperti saudara kembar.
Bahkan sepertinya diriku mengalahkan kedekatannya dengan kembarannya yang memang
berada di sekolah berbeda. Seakan yang kembar adalah diriku, Aisha dan Zara.
Bukan Zara dan Zura. Aku tersenyum mengingatnya.
Zara adalah gadis tomboy yang pernah kukenal. Ia sangat berani
melakukan banyak hal tanpa ada rasa canggung yang memghinggapi. Tapi anehnya,
hanya pada satu kejadian yang sama ia akan menjadi pemalu. Seakan dia bukan
Zara yang biasanya. Yaitu ketika ia harus menari di depan kelas, atau itu
berarti ia harus melenggak lenggok di hadapan seluruh teman pria yang satu
kelas dengannya.
Ia bilang ia sangat malu rasanya jika harus menggerakkan sebagian
tubuhnya di hadapan lelaki yang bukan keluarganya. Sangat aneh dan tak biasa.
Karenanya ia tak pernah mau belajar lebih di bidang seni tari sekalipun ia sangat
ingin. Itu seperti perkataannya di sela waktu menunggu giliran penilaian tari.
"Aku tuh pengen banget kayak kamu yang punya darah seni,
rasanya asik banget bisa nari kayak gitu. Tapi jika ada satu pria di situ,
latihan-latihan yang telah aku lakukan rasanya enggak berguna. Melayang begitu
saja seperti aku baru pertama kali belajar menari. Pasti akan senang rasanya bisa
belajar tanpa harus menampilkannya di hadapan laki-laki umum." Jelasnya
saat itu dan perkataannya itu tak pernah kulupa hingga kini.
Setelah wawancara dadakan ini berakhir semua orang mulai
meninggalkan tempat. Sebelum pergi satu persatu dari mereka memelukku erat
memberiku semangat menyelamati diriku juga berterimakasih atas segala hal. Aku
ikut bahagia. Dan aku juga berterima kasih atas pengorbanan yang mau mereka
lakukan untuk ini.
Mataku masih menatap jauh hingga pintu keluar itu tertutup rapat
oleh orang terakhir dan setelahnya ruangan ini benar-benar sunyi senyap sebab
hanya terisi oleh diriku. Diriku seorang. Lalu, aku membalikkan badan untuk
menatap pekerjaan yang menumpuk menunggu diselesaikan. Dan aku terkagetkan oleb
kehadiran seseorang yang tak akan pernah kulupakan. Bagaimana bisa ini terjadi?
Hanya itulah yang menjadi pertanyaan selagi aku menatapnya lamat-lamat.
Berharap ini bukanlah halusinasi yang kubuat karena orang yang yelah lama
kurindukan.
Tak jauh di depan sana seorang perempuan dengan pakaian
yang sama dengan yang sebelumnya menanyaiku berdiri dengan tangan kanan mengangkat
sehelai kain yang kutebak adalah cadar yang ia pakai sebelum ini. Dialah gadis di cerita itu. Azara Nisa Fatih Elmalik.
Dia mengakhiri kisah ini dengan senyuman termanisnya. Begitu pula
dengan diriku. Itu terjadi bersamaan dengan genggaman erat yang terasa di setiap
helai kain yang kami pakai. Terima kasih kawan. Terima kasih.
Cerpen karya Akrimna Binuril di atas
sangat menarik, bukan? Setelah membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom
komentar, ya! Terima kasih sudah berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di
postingan selanjutnya, stay tuned!
—Sibema 33
Sanggar Wadon-Akrimna Binuril (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Reviewed by G-MAGZ
on
Januari 19, 2019
Rating:
Tidak ada komentar