Surat Tak Berpemilik-Asrar Ashfia (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Halo semua, bertemu lagi di blog Sibema!Berhubung Sibema 33 telah menyelenggarakan Gladiool Sibema Competition pada bulan Desember lalu, kami dengan senang hati membagikan hasil karya para peserta di sini. Karena GSC tahun ini mengangkat tema kebudayaan Indonesia, kalian tentunya bisa menemukan banyak karya yang berhubungan dengan budaya kita. Jadi, selain mengisi waktu luang, bisa menambah pengetahuan juga, dong! Nah, berikut adalah karya salah satu pemenang GSC 2018 : Culture cabang lomba cerpen. Cerpen ini merupakan karya dari Asrar Ashfia kelas XII IPA 2. Jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca, ya! Oh iya, stay tuned juga di blog kami karena kami akan mempublikasikan beberapa karya peserta GSC yang tentunya menarik untuk diikuti.
——∑βγ——
Surat
Tak Berpemilik
Entikong, 9 September 2016
Dear
Mei
Bagaimana
kabarmu? Bagaimana dengan ayah dan mamakmu? Kuharap kalian semua baik-baik saja
disana. Maaf aku baru menulis surat untukmu, emak sangat repot akhir-akhir ini
dengan kebunnya sehingga aku membantunya.
Sudah
pernah kuceritakan kan tentang guruku yang hobi memancing? Beliau suka sekali
mengajak kami memancing saat pulang sekolah. Sekarang, aku ingin menceritakan
tentang guru itu lagi. Bukan tentang hobinya, tetapi tentang apa yang beliau
bicarakan minggu lalu. Aku masih ingat apa yang beliau katakan.
“Anak-anak,
kita hidup di Indonesia, negeri yang kaya akan budayanya. Dengan banyaknya
pulau di Indonesia, termasuk Kalimantan yang kita injak sekarang, kebudayaan
Indonesia sangat beragam dan memiliki keunikan masing-masing. Akan tetapi, ada
kebudayaan yang sama dan dilestarikan di semua pulau di Indonesia, menurut
kalian budaya apa itu?”
Kau
mungkin juga bertanya, kira-kira budaya apa itu? Apakah gawai dayak yang kami
lakukan disini? Teman-teman mencoba menebak-nebak, tetapi tidak ada satupun
tebakan yang benar. Guruku pun melanjutkan penjelasannya.
“Budaya
itu adalah ramah-tamah. Tersenyum, menyapa, memberi salam, merupakan bentuk
keramah-tamahan. Orang tua kalian pasti mengajarkan kalian untuk selalu menyapa
orang lain kan? Terutama di Entikong, kita bisa melihat orang-orang menyapa
karena kita diajarkan untuk menghargai alam dan manusia. Bahkan dengan sebuah
senyuman, orang yang tidak kita kenal akan senang berteman dengan kita. Cobalah
menyapa orang-orang yang kalian temui dan kalian akan tahu jika hal ini benar.”
Mei sahabatku, kutebak kau pasti juga baru mendengarnya kan? Memang, selama ini aku melihat orang-orang di Entikong sering memberi salam saat bertemu. Disini, kamu bisa melihat kedekatan mereka yang bahkan jarak usianya jauh. Akan tetapi, aku masih meragukannya. Seperti yang kau tahu, aku hanya punya dirimu saja sebagai sahabatku. Aku tidak dekat dengan orang-orang di Entikong, bahkan teman-teman kelasku. Aku merasa berbeda dan dijauhi dari mereka.
Aku
merasa sendiri tiap kali di kelas. Hanya menulis surat untukmulah yang
membuatku benar-benar senang. Apa mungkin karena aku tidak pernah mencoba untuk
menyapa mereka? Menurutku tidak. Tadi aku sudah mencoba tersenyum ke teman yang
duduk di dekatku saat aku pulang, tetapi ia tidak tersenyum balik. Ia malah
lari ke teman-teman lain.
Aku bersyukur, masih ada dirimu yang mendengarkanku. Oh iya, hari sudah malam. Sudah dulu aku menulis surat ini, kutunggu balasanmu!
Nati, kawanmu tercinta
*****
Entikong,
18 September 2016
Dear
Mei,
Sehatkah
kau dengan keluargamu? Aku dan emak disini baik. Kemarin guruku memberi ikan
kepada semua muridnya, termasuk aku. Emak pun memasaknya dan rasanya enak sekali!
Seharusnya kamu ada disini kemarin.
Tadi
pagi aku dan emak pergi ke Tebedu, pintu masuk menuju Serawak, untuk
berbelanja. Warga di Etikong lebih memilih berbelanja di negeri tetangga ketimbang
di Pontianak atau daerah lain sebab jarak Serawak lebih dekat dari tempat lain.
Warga disini memiliki 2 mata uang, Rupiah dan Ringgit. Kami hanya butuh sebuah
kartu, kartu PLB kata emak, dan kami diperbolehkan masuk ke negeri Jiran itu.
Sesampainya,
kami langsung menuju Sin Guan Tai, sebuah minimarket tempat emak biasa
berbelanja. Biasanya emak akan beli keperluan untuk 1 bulan agar tidak
bolak-balik ke toko ini. Saat emak mau membayar, aku melihat lelaki dengan
perawakan tinggi. Itu ayahku! Aku senang sekali dapat melihat ayah sehat
disini. Demi mencukupi kebutuhan, ayah berkerja di Serawak dan pulang 2 minggu
sekali.
Hari
ini ayah akan ikut kami pulang ke Entikong. Aku senang rumah tidak akan sepi
lagi. Kami kembali ke rumah saat matahari tepat diatasku. Saat di Entikong, aku
melihat seorang wanita berjilbab bersama Bapak Kepala Desa. Ia pun mengenalkan
diri. Katanya, ia adalah seorang penulis dari Jawa yang tertarik dengan
Entikong.
Kau
tahu? Ia suka tersenyum pada orang lain, termasuk padaku, emak, dan ayah. Saat
kami berpisah, kulihat dia menyapa pada tiap orang yang ia lihat. Apa yang
dikatakan guruku itu benar tentang
ramah-tamah? Bahwa budaya itu ada di semua pulau di Indonesia. Aku akan
melihat wanita ini terus ke depannya.
Sudah
dulu ya Mei, aku capek sekali. Kutunggu balasan darimu!
Nati,
sahabatmu
*****
Entikong,
30 September 2016
Halo
Mei,
Maaf
Mei aku baru menulis surat untukmu. Kau tahu? akhir-akhir ini aku sibuk melihat
perempuan berjilbab itu.
Perempuan
ini benar-benar orang yang sering tersenyum. Walaupun orang-orang Entikong
adalah orang yang benar-benar asing untuknya, ia selalu dan selalu menyapa
kami. Dari Bapak Kepala Desa, Pak Bahar pemilik kedai kopi, sampai Pak Minggu
yang seorang petani. Bahkan istri Pak Minggu, ibu Pak Minggu yang sudah tua,
anak Pak Minggu, serta sepupu-sepupu Pak Minggu ia sapa. Semua orang di
Entikong ia sapa.
Aku
sangat penasaran sehingga aku pun memberanikan diri untuk bertanya pada
perempuan itu. Aku benar-benar ingin tahu, apakah semua ini tentang ramah tamah
seperti yang dikatakan guruku. Dan kau tahu, jawabannya sama persis dengan
guruku. Ia pun balik bertanya padaku.
“Bagaimana
dengan Adek? Apa Adek percaya dengan ramah-tamah kita bisa saling menghargai
dan lebih dekat dengan orang lain?”
Aku
bingung. Seperti yang kau tahu Mei, aku masih meragukan hal itu. Mungkin
perempuan itu tahu aku tidak percaya dengan apa yang dibicarakannya. Perempuan
itu tersenyum dan mengajakku berjalan-jalan memutari desa. Kemudian, kulihat 2
orang asing di dekat kebon Emak. Tiba-tiba saja perempuan ini menarikku dan
berjalan menuju mereka.
Perempuan
yang menarikku kemudian menyapa 2 orang asing yang baru kutemui. Kedua orang itu
langsung tersenyum. Perempuan itu memintaku untuk tersenyum dan menyapa mereka.
Sebenarnya aku takut, tetapi aku mencoba untuk menyapa mereka sambil tersenyum.
Seperti mantra, mereka membalasnya sama seperti ketika merespon sapaan dari
perempuan yang membawaku kemari.
Tiba-tiba
aku ikut mengobrol dengan mereka yang sama sekali belum kukenal. Benar-benar
menyenangkan! Mereka tetap menghargaiku walaupun aku berbeda dan bertanya-tanya
padaku tentang Entikong. Aku menceritakan apa yang aku tahu dan mereka
mendengarkanku sambil sesekali merespon. Kemudian kedua orang itu pamit dan
tinggal aku dengan perempuan berjilbab ini.
“Bagaimana
sekarang?” ia tersenyum sambil mengajakku berjalan lagi.
Aku
menggangguk dan kemudian tersenyum. Akhirnya aku paham apa itu ramah-tamah dan
bagaimana pentingnya budaya ini dalam berhubungan dengan orang lain. Akan
tetapi, kemudia aku mengingat bagaimana perilaku teman-teman sekelasku padaku.
Kemudian aku menanyakan hal ini pada perempuan itu.
“Cobalah
menyapa mereka dan tunggu respon mereka. Kau akan tahu jika sebenarnya mereka
ingin sekali berteman denganmu.”
Perkataan
ini sama dengan guruku, bedanya sekarang aku tidak meragukannya. Esoknya, aku melihat
teman-teman sedang bermain-main di halaman sekolah. Salah satu dari mereka
melihatku, tapi aku malah menundukkan kepala. Kemudian aku ingat dengan apa
yang dikatakan perempuan dari kota itu.
“Se-selamat
pagi,” aku berusaha tersenyum. Kau harus tahu bagaimana takutnya aku saat itu.
Awalnya mereka semua melihatku dan terdiam. Sebenarnya
aku ingin menutupi wajahku, tetapi tidak kulakukan. Tiba-tiba, aku melihat
senyum dari anak yang dulu kusapa dan diikuti dengan senyum semua temanku.
Senyum menyenangkan seperti yang perempuan kemarin tunjukkan kepadaku kemarin.
Mereka
menyapaku kembali, Mei! Tiba-tiba kami sudah bermain dan tertawa bersama. Tidak
seperti dulu ketika aku akan sengaja datang terlambat agar aku tidak perlu
berhadapan dengan mereka. Guruku ternyata benar!
Berkat
kau, aku bisa berubah seperti saat ini. Terima kasih, Mei!
Nati,
kawanmu
*****
Gadis
kecil itu melangkah ke arah kebun singkong yang berjarak hanya 10 meter dari
rumahnya. Persis di belakang lahan yang baru saja dipanen itu, ia mendengar
suara gemericik air yang mengalir dengan lembut. Langkahnya terhenti, disertai
tatapan matanya pada air yang tak lelah berjalan disana. Kemudian, tatapannya beralih
pada botol kecil yang sedari tadi ia pegang. Botol air mineral yang ia dapat
cuma-cuma dari koleksi ibunya di rumah. Botol yang berisi surat terakhirnya
untuk ‘kawan’nya tercinta.
“Botol
terakhir hari ini dan selamanya, luncurkan!” teriak gadis kecil itu sambil
mengangkat tinggi-tinggi botol yang ia pegang. Tanpa ragu, ia membiarkan botol
itu dilumat air sungai yang terus membawa botol itu jauh darinya. Berenang ke
arah yang berlawanan dengan dirinya. Dan kemudian hilang dari pandangannya yang
diikuti rasa lega bocah itu karena ia tahu, dirinya tak lagi mengharapkan
balasan dari surat yang penerimanya tidak ia kenal bahkan ia tak yakin dengan
keberadaan ‘kawan’nya di negeri ini.
*****
Sudah
setahun ia mengikuti jejak surat tak berpemilik itu. Surat yang datang saat
matahari malu akan kehadirannya dan berencana untuk bersembunyi lagi. Dan di
waktu itu pula Pak Banur memancing dan selanjutnya ia dipertemukan dengan botol
yang tampak berbeda dari sampah yang biasa ia lihat. Botol berisi kertas dengan
tulisan seorang anak kecil yang pesimis akan dunia ini dan membuatnya ingin
membantu semua anak-anak di desa yang mungkin memiliki masalah yang sama dengan
bocah penulis surat. Dan berakhirlah dia menjadi seorang guru yang selalu
berusaha untuk memotivasi murid-muridnya dan termasuk si penulis surat itu
sendiri.
*****
Cerpen karya Asrar Ashfia di atas sangat menarik, bukan? Setelah membaca, tinggalkan tanggapan kalian di kolom komentar, ya! Terima kasih sudah berkunjung dan bertemu lagi dengan kami di postingan selanjutnya, stay tuned!—Sibema 33
Surat Tak Berpemilik-Asrar Ashfia (Karya Cerpen Pemenang GSC 2018)
Reviewed by G-MAGZ
on
Januari 18, 2019
Rating:
Tidak ada komentar